Monday, June 4, 2012

Nasionalisme Riwayatmu Kini


Memudarnya rasa kebanggaan bagi bangsa selama beberapa tahun belakangan ini, sesungguhnya disulut oleh menguatnya sentimen kedaerahan dan semangat primordialisme pascakrisis. Suatu sikap yang sedikit banyak disebabkan oleh kekecewaan sebagian besar anggota dan kelompok masyarakat bahwa kesepakatan bersama (contract social) yang mengandung nilai-nilai seperti keadilan dan perikemanusiaan dan musyawarah kerap hanya menjadi retorika kosong.
Pemberantasan korupsi terhadap para koruptor kelas kakap dan penegakan hukum dan keadilan yang sebenarnya sebagai sarana strategis untuk membangkitkan semangat cinta tanah air dalam diri anak-anak bangsa, tetapi semuanya tampak bohong belaka. Ini membuat generasi sekarang menjadi gamang terhadap bangsa dan negaranya sendiri. Tidak mengherankan semangat solidaritas dan kebersamaan pun terasa semakin hilang sejak beberapa dekade terakhir. Boleh jadi, penyebab dari memudarnya rasa nasionalisme ini juga disebabkan oleh karena paradigma tentang bangsa dan nasionalisme yang kita anut, berjalan di tempat. Padahal, perkembangan nasional dan global menuntut paradigma yang disesuaikan dari waktu ke waktu, sesuai dengan keadaan bangsa dan negara yang berdaulat. Dari dalam itulah lahir kesadaran berbangsa dan bernegara yang pada hakikatnya merupakan kesadaran politik yang normatif.
Dari sini pula kesadaran yang merupakan janin suatu ideologi yang disebut nasionalisme. Dalam arti, nasionalisme sebagai suatu paham yang mengakui kebenaran pikiran bahwa setiap bangsa -demi kejayaannya-seharusnya bersatu bulat dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari nasionalisme inilah lahirnya ide dan usaha perjuangan untuk merealisasi negara bangsa. Di Indonesia, ide dan usaha seperti ini berkembang kuat pada tahun 1930-an dan memuncak pada tahun 1940an. Yang kemudian menjadi problem besar di sini adalah, apakah tegaknya suatu nation yang pada hakikatnya merupakan suatu produk kesadaran politik bernegara itu dapat dilakukan tanpa landasan kultur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Pertanyaan ini penting dijawab. Sebab, tantangan yang paling berat bagi sebuah negara yang berdaulat sesungguhnya adalah bukan terutama pada sikap ekspansif dari negara tetangga seperti Malaysia dalam kasus Pulau Ambalat ini, tetapi lebih pada faktor kultur atau pemeliharaan budaya, sikap hidup atau perilaku hidup sehari-hari, seperti bagaimana kita menciptakan keadilan, perikemanusiaan dan lain-lain di dalam bangsa dan negara sendiri. Selain itu, karena dalam era modern ini, setiap bangsa semakin menghormati kedaulatan bangsa lain. Meskipun dalam beberapa kasus di dunia, ada negara yang masih kurang menghormati kedaulatan negara lain.
Dengan memudarnya nasionalisme, yang terutama disebabkan oleh begitu tingginya ketidakadilan; korupsi yang merajalela dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang tidak diselesaikan secara tuntas lewat jalur hukum, dan lain-lain, maka musuh bangsa yang paling utama sekarang ini adalah bukan penjajah, bukan sikap ekspansif atau sikap agresor negara tetangga, melainkan birokrasi yang korup, ketidakadilan dan/atau ketidakmerataan ekonomi dan politik, kemiskinan, kekuasaan yang sewenang-wenang dan sebagainya. Pemberantasan korupsi yang hanya retorika belaka, pelanggaran HAM yang tidak diselesaikan lewat jalur hukum hingga tuntas, ketidakadilan antara pusat dan daerah dan sebagainya harus segera diperhatikan secara serius.

No comments: