Memudarnya
rasa kebanggaan bagi bangsa selama beberapa tahun belakangan ini, sesungguhnya
disulut oleh menguatnya sentimen kedaerahan dan semangat primordialisme
pascakrisis. Suatu sikap yang sedikit banyak disebabkan oleh kekecewaan
sebagian besar anggota dan kelompok masyarakat bahwa kesepakatan bersama (contract social) yang mengandung
nilai-nilai seperti keadilan dan perikemanusiaan dan musyawarah kerap hanya
menjadi retorika kosong.
Pemberantasan
korupsi terhadap para koruptor kelas kakap dan penegakan hukum dan keadilan
yang sebenarnya sebagai sarana strategis untuk membangkitkan semangat cinta
tanah air dalam diri anak-anak bangsa, tetapi semuanya tampak bohong belaka.
Ini membuat generasi sekarang menjadi gamang terhadap bangsa dan negaranya
sendiri. Tidak mengherankan semangat solidaritas dan kebersamaan pun terasa
semakin hilang sejak beberapa dekade terakhir. Boleh jadi, penyebab dari
memudarnya rasa nasionalisme ini juga disebabkan oleh karena paradigma tentang
bangsa dan nasionalisme yang kita anut, berjalan di tempat. Padahal,
perkembangan nasional dan global menuntut paradigma yang disesuaikan dari waktu
ke waktu, sesuai dengan keadaan bangsa dan negara yang berdaulat. Dari dalam
itulah lahir kesadaran berbangsa dan bernegara yang pada hakikatnya merupakan
kesadaran politik yang normatif.
Dari
sini pula kesadaran yang merupakan janin suatu ideologi yang disebut
nasionalisme. Dalam arti, nasionalisme sebagai suatu paham yang mengakui kebenaran
pikiran bahwa setiap bangsa -demi kejayaannya-seharusnya bersatu bulat dalam
suatu kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari nasionalisme inilah lahirnya ide
dan usaha perjuangan untuk merealisasi negara bangsa. Di Indonesia, ide dan
usaha seperti ini berkembang kuat pada tahun 1930-an dan memuncak pada tahun
1940an. Yang kemudian menjadi problem besar di sini adalah, apakah tegaknya
suatu nation yang pada hakikatnya merupakan suatu produk kesadaran politik
bernegara itu dapat dilakukan tanpa landasan kultur dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara?
Pertanyaan
ini penting dijawab. Sebab, tantangan yang paling berat bagi sebuah negara yang
berdaulat sesungguhnya adalah bukan terutama pada sikap ekspansif dari negara
tetangga seperti Malaysia dalam kasus Pulau Ambalat ini, tetapi lebih pada
faktor kultur atau pemeliharaan budaya, sikap hidup atau perilaku hidup
sehari-hari, seperti bagaimana kita menciptakan keadilan, perikemanusiaan dan
lain-lain di dalam bangsa dan negara sendiri. Selain itu, karena dalam era
modern ini, setiap bangsa semakin menghormati kedaulatan bangsa lain. Meskipun
dalam beberapa kasus di dunia, ada negara yang masih kurang menghormati
kedaulatan negara lain.
Dengan memudarnya nasionalisme, yang terutama disebabkan oleh begitu
tingginya ketidakadilan; korupsi yang merajalela dan pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) yang tidak diselesaikan secara tuntas lewat jalur hukum, dan
lain-lain, maka musuh bangsa yang paling utama sekarang ini adalah bukan
penjajah, bukan sikap ekspansif atau sikap agresor negara tetangga, melainkan
birokrasi yang korup, ketidakadilan dan/atau ketidakmerataan ekonomi dan
politik, kemiskinan, kekuasaan yang sewenang-wenang dan sebagainya.
Pemberantasan korupsi yang hanya retorika belaka, pelanggaran HAM yang tidak diselesaikan
lewat jalur hukum hingga tuntas, ketidakadilan antara pusat dan daerah dan
sebagainya harus segera diperhatikan secara serius.
No comments:
Post a Comment