Wednesday, April 7, 2010

Islamisasi antara ide dan realita


Menurut perspektif islam, sebuah pemerintahan hanya akan mencapai tahap pemerintahan islam yang idealistik apabila pemimpin negara baik presiden,gubernur maupun walikota/bupati bertindak sebagai pembimbing. Segala tindak-tanduk berpandukkan kepada syariat bagi kemaslahatan masyarakat di dunia dan akherat. Khalifah Islam juga bertanggung jawab menjaga, melindungi, mempertahankan serta menyelamatkan rakyat di bawah penjagaannya dari segala ancaman yang dapa mengganggu nilai-nilai moral islam.
Kewajiban terbesar khalifah juga adalah untuk merealisasikan hukum Allah terhadap rakyat di bawah pemerintahannya dan menjamin supaya tidak berlaku segala kedzaliman, penindasan serta permusuhan di antara sesame manusia. Melaluinya juga berarti khalifah telah melaksanakan hukum-hukum Al-Qur’an yang menjadi jaminanbagi membentuk sebuah pemerintahan yang adil, termasuk meninggalkan segala kefasikan dan keburukan.
Dasar pentingnya al-Qur’an dijadikan sebagai dasar pemerintahan adalah bertujuan untuk membedakan antara pemerintahan yang berpedomankan undang-undang ciptaan manusia dengan ciptaan Ilahi. Ibnu Khaldun memberikan gambaran untuk membedakannya, yaitu :
“Kalaulah Undang-undang itu dibuat oleh ahli akal, pembesar-pembesar negara beserta pakar-pakarnya maka itu adalah siyasah akal. Tetapi kalaulah undang-undang itu diwajibkan oleh Allah diakui dengan syaratnya, maka ia adalah siyasah agama yang member manfaat kepada kehidupan di dunia dan di akhirat.”
Pemerintahan islam yang sempurna juga akan terlaksana andaikata seorang pemimpin itu meletakkan keadilan yang berpedoman kepada hukum Allah ke dalam kebijakan pemerintahannya. Keadilan yang dimaksudkan disini menyentuh tentang sikap seseorang pemimpin tersebut berusaha menjauhkan dirinya daripada melakukan sebuah perbuatan yang dilarang oleh Allah baik itu dari perbuatan dosa kecil maupun dosa besar.
Sama seperti keadaan pemerintahan yang lain, idealnya sesuatu bentuk pemerintahan tidak akan tercapai tanpa adanya sistem yang tersendiri. Dalam hal ini islam telah meletakkan konsep syura sebagai asas pemerintahan di dalam pemerintah islam sebagaimana yang di firmankan oleh Allah:
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.:(Q.S 42: 38)
Musyawarah yang dimaksudkan di sini ialah musyawarah terhadap perkara yang tidak mempunyai nas saja, baik yang ada dalam Al-Qur’an ataupun Al-Hadis. Justru itu, jika suatu masalah atau perkara tersebut talah terdapat nas yang nyata, maka tidak dibolehkan bermusyawarah lagi untuk mencari hukumnya. Apa yang perlu dalam hal ini ialah melaksanakannya tanpa berdalih ini itu lagi. Konsep bermusyawarah juga mencerminkan bahwa seorang pemimpin islam itu adalah terikat dengan keputusan yang dibuat oleh majlis musyawarah/ DPR. Maka dari itu, pemimpin islam wajib melaksanakan keputusan tersebut.
Aktivitas juga sangata terkait dengan pemerintahan islam. Pemimpin islam harus melakukan kegiatan-kegiatn dakwah termasuklah perkara-perkara yang menyangkut soal pemerintahan dan juga proses kegiatan tersebut. Tidak lupa juga propaganda dan media massa mestilah digunakan dengan sebaik mungkin bagi memperlancar perjalanan dakwah.
Pemimpin islam juga mesti bertanggungjawab memerangi unsur-unsur kemungkaran dan perkara-perkara thagut yang dapat merusak pemikiran akidah umat islam. Al Baidhawi menyifatkan Thagut itu sebagai segala objek yang disembah selain daripada Allah atau perkara-perkara yang dapat menjadi puncak kesesatan manusia.
Idealistik pemerintahan Islam itu akan tercapai dengan adanya sebuah komitmen serta dukungan yang solid dari rakyat terhadap pemerintah. islam harus melakukan beberapa cara agar rakyat menyatakan dukungan kepada pemerintah. ada kalanya berdiri teguh di belakang pemimpin, mempertahankan kewibawaan dengan lisan, tulisan dan jiwa raga. Segala tindakan dan pengorbanan tersebut hendaklah timbul daripada rasa tanggungjawab terhadap pemimpin yang telah diperintahkan oleh Allah.

Hak dan Kebebasan Wanita Dalam Perspektif Islam


Jari jemari halus yang mengayun buaian dapat menggoncangkan dunia, surga di bawah telapak kaki ibu dan sebagainya merupakan ungkapan konotasi biasa yang sering digunakkan oleh masyarakat secara turun temurun, bertujuan untuk melambangkan identitas serta status wanita dalam konteks bermasyarakat. Kombinasi yang padu antara keberadaaan wanita dan laki-laki akan melahirkan suatu umat yang beridentitas tinggi dan unggul. Alqur’an dan al-Sunnah serta rentetan sejarah umat manusia mencerminkan dengan jelas tentang kedudukan dan kebebasan wanita dalam masyarakat.
Berabad-abad yang lalu jelas menggambarkan tentang perbedaan status wanita di dalam kehidupan. Sebelum kemunculan islam terutama di abad-abad primitive serta suasana jahiliyah menunjukan bahwa status wanita tidak bernilai sama sekali. Ada hal yang dianggap memalukkan yaitu, kelahiran seorang wanita itu akan memberikan sebuah peristiwa hitam dalam kehidupan berkeluarga.
Pada zaman sebelum Islam bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup. Kemudian sejarah hitam itu terus dialami dengan dijadikakn sebagai alat permainan lelaki di zaman dan yahudi. Mereka menjadikan wanita sebagai benda yang dapat dimiliki oleh siapapun dengan hanya membayar harganya.
Kedudukan wanita tetap tidak berubah, mendung hitam tidak memberikan ruang untuk mentari memancarkan sinarnya. Kehidupan mereka tidak pernah dibela oleh siapapun. Gereja yang merupakan rumah suci bagi orang-orang Kristen tetap mengamalkan diskriminasi terhadap wanita. Kesalahan Hawa yang mempengaruhi Adam untuk memakan buah khuldi telah dijadikan sebagai dasar utama atau kebijakan utama golongan gereja terhadap kebebasan hak wanita.
Sejarah hitam kehidupan wanita mulai menampakkan cahaya bersama terbitnya Islam yang dibawa oleh junjungan besar Nabi Muhammad S.A.W. apabila terpancarnya nur Islam maka wanita telah mendapat berbagai hak kebebasan seperti di dalam ibadah, pewarisan dan sebagainya.
Dalam ibadah misalnya, Allah menyifatkan kedudukan wanita adalah sama dengan kedudukan serta status lelaki sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. (Q.S 4: 1224)
Tentang hak waris Allah S.W.T telah menjelaskan hak wanita sebagaimana firman-Nya yang berbunyi:
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S 4: 7)
Begitu juga dengan persaksian dari seorang wanita. Sesungguhnya wanita juga mendapat haknya sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya… (Q.S 2: 282)

PERAN KEYAKINAN DAN KETABAHAN


Rahasia keberhasilan orang terletak pada duah hal: keyakinan pada tujuan dan kedua, keteguhan dan usaha untuk mendapatkannya keyakinan adalah desakan batin yang mendorong manusia menuju sasarannya, dan menggugahnya siang malam untuk mencapai tujuannya, karena ia sangat yakin bahwa kesejahteraan, keunggulan, kemakmuran, dan keberhasilannya berhubungan dengan itu.


Kekuatan keyakinan dengan sendirinya mengarahkan dan meyakinkannya untuk mengatasi semua kesulitan dan menjauhkannya dari setiap keraguan, kendati kemakmurannya mungkin bergantung pada tercapainya target tertentu. misalnya, orang sakit yang menyadari bahwa kesembuhan dan kesegarannya tergantung pada obat yang pahit, akan meminum obat itu dengan senang hati; penyelam yang yakin ada mutiara berharga di bawah laut, akan menerjunkan dirinya ke dalam air tanpa takut dan muncul ke permukaan lagi setelah tujuan tercapai. namun, bila si sakit dan penyelam ini meragukan kemungkinan berhasilnya tujuan mereka, atau sama sekali tak yakin akan manfaat usahanya, mereka tak akan mengambil tindakan tersebut; kalaupun mereka lakukan, mereka akan merasa kesukaran dan penderitaan. dengan demikian, kekuatan iman dan keyakinanlah yang mengatasi banyak kesulitan.

Bagaimanapun tak diragukan bahwa pencapaian sasaran berkaitan erat dengan kesulitan dan rintangan. karena itu adalah penting melawan rintangan dan melakukan upaya yang perlu untuk itu dengan mengerahkan kekuatan penuh, sehingga seluruh halangan dapat dihilangkan.

Dikatakan sejak dulu bahwa dimana ada mawar (sasaran paling berharga), di situ ada duri (kesulitan). maka mawar harus dipetik sedemikian rupa sehingga duri tidak menusuk tangan dan kaki..

nb : makasih buat seseorang yang menjadi inspirasi penulisan tulisan ini....

Monday, January 11, 2010

download buku kudeta soeharto

kalo mw download buku yang di larang kejaksaan tentang kudeta soeharto klik aja link dibawah ini. tapi pemilik blog tidak bertanggung jawab atas isi buku tersebut.

Pemikiran Politik M.Natsir

BAB I

PENDAHULUAN


Tak banyak orang yang bisa menggabungkan kefasihan seorang cendekia dengan kearifan politik seorang negarawan. Mohammad Natsir (1908-1993) termasuk di antara sedikit orang itu. Natsir dibesarkan di tengah-tengah keluarga muslim yang taat, Natsir kecil telah berkenalan dengan pendidikan agama dalam lingkungan tradisional yang agamis. Lalu Natsir berkenalan dengan pendidikan barat di tengah lingkungan modern yang dibawa kolonialisme. Dalam diri Natsir pun bertemu hasil pendidikan agama yang memberi dasar-dasar religiusitas dengan hasil pendidikan barat yang mengenalkan nilai-nilai modern. Natsir adalah seorang terpelajar berpendidikan barat yang memahami dengan fasih ajaran-ajaran Islam. Natsir memberi sumbangan besar bagi bangsanya dalam posisinya sebagai cendekiawan-budaya muslim, tokoh politik, dan negarawan secara sekaligus. Adalah mustahil memetakan pemikiran cendekiawan muslim Indonesia dengan mengabaikan pikiran Natsir. Mustahil pula merekontruksi sejarah politik Indonesia dengan menghapus peran Natsir. Pun mustahil membuat daftar negarawan yang mampu bertindak konstitusional, demokratis dan terhormat, yang jumlahnya amat sedikit itu dengan menyingkirkan nama Natsir. Ayahnya yang merupakan seorang ulama terkenal di Indonesia yang membuat lingkungan seperti ini sangat berpengaruh pada pertumbuhan sang putra. Mendapat ijazah perguruan tinggi tarbiyah Bandung, mendapat gelar Doktor Honoris Causal dari Universitas Islam Indonesia (dulu sekolah tinggi Islam), Yogyakarta. Aktif pada dunia pendidikan di Bandung, menjadi pemimpin pada direktorat pendidikan di Jakarta taun 1945, kemudian ia menjadi anggota majelis permusyawaratan rakyat Sumatera. Tahun 1946, ia mendirikan partai MASYUMI (Majelis syura Muslimin Indonesia). Ia juga menjabat menteri Penerangan selama empat tahun. Perjuangan Muhammad Natsir ketika Belanda hendak menjadikan Indonesia negara serikat, Muhammad Natsir menentangnya dan mengajukan pembentukan negara kesatuan republik Indonesia. Usulan ini disetujui 90% anggota Masyumi. Tahun 1950, ia diminta membentuk kabinet sekaligus menjadi perdana menterinya. Tapi belum genap setahun ia dipecat karena bersebrangan dengan presiden Soekarno. Ia tetap memimpin Masyumi dan menjadi anggota parlemen hingga tahun 1957. ia juga menjalin hubungan baik dengan gerakan-gerakan Islam Internasional. Untuk saling tukar pengalaman dan saling mengokohkan persatuan. Tahun 1967, Muhammad Natsir dipilih menjadi Wakil ketua Muktamar Islam Internasional di Pakistan. Kepedulian Muhammad Natsir, sangat serius memperhatikan masalah Palestina, Ia temui tokoh, pemimpin dan dai di negara-negara Arab dan Islam untuk membangkitkan semangat membela Palestina, setelah kekalahan tahun 1967. Ungkapan-ungkapan Muhammad Natsir “Islam tidak terbatas pada aktivitas ritual muslim yang sempit, tapi pedoman hisup bagi insividu, masyarakat dan negara”. Islam menentang kesewenang-wenangan manusia terhadap saudaranya, karena itu kaum muslimin harus berjihad untuk mendapatkan kemerdekaan. Islam menyutujui prinsip-prinsip negara yang benar. Karena itu, kaum muslimin harus mengelola negara yang merdeka berdasarkan nilai-nilai Islam. Tujuan ini tidak terwujud jika kaum muslimin tidak punya keberanian berjihad untuk mendapatkan kemerdekaan, sesuai dengan nilai-nilai yang diserukan Islam.



BAB II

Gagasan Pemikiran Natsir


2. 1 Ideologi Politik

Menurut Natsir orang Islam itu mempunyai falsafah hidup, dapat disimpulkan dalam satu kalimat dalam Al-Quran yang maksudnya : “Tidaklah aku jadikan jin dan manusia itu, melainkan untuk mengabdi kepada-Ku”. (Q.S. Addzariyat : 56). Jadi, seorang Islam hidup di dunia ini adalah dengan cita-cita hendak menjadi seorang hamba Allah SWT dengan arti yang sepenuhnya, mencapai kejayaan dunia dan kemenangan di akhirat. Dunia dan akhirat ini, sekali-kali tidak mungkin dipisahkan oleh seorang muslim dari ideologinya.

Untuk mencapai hal tersebut Tuhan memberikan kita bermacam-macam aturan. Aturan atau cara kita berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita dan aturan atau cara kita berhubungan dengan sesama manusia. Diantara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk itu, terdapat garis-garis besar berupa kaedah yang berkenaan dengan hak dan kewajiban seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang. Yang tidak lain dan tidak bukan, ialah yang dinamakan orang dengan urusan kenegaraan. Banyak orang beranggapan bahwa Islam itu hanyalah semata-mata peribadatan dalam istilah sehari-hari yaitu seperti Salat dan puasa.

Akan tetapi agama dalam pengertian Islam adalah meliputi semua kaedah-kaedah, hudud-hudud (batas-batas) dalam muamalah (pergaulan) dalam masyarakat, menurut garis-garis yang ditetapkan oleh Islam. Semua aturan-aturan dalam garis besarnya sudah terhimpun dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Tetapi Quran dan Sunnah nabi itu tidak bertangan dan berkaki sendiri untuk menjaga suaya peraturan-peraturannya dijalankan manusia. Yang dimaksud dengan yang tidak bertangan dan berkaki sendiri disini ialah perlunya negara sebagai alat atau instrumen untuk menjalankan perayuran-perauturan agama.

Disini juga jelas terlihat bahwa agama khususnya Islam bukanlah sebuah bagian dari negara tetapi negara yang dijadikan instrumen untuk implementasi syariah Islam. Untuk menjaga supaya aturan-aturan dan patokan-patoka itu dapat berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya, perlu dan tidak boleh tidak harus ada sesuatu kekuatan dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara, sebagaimana telah diperingatkan Rasullulah SAW kepada kaum muslimin : “Sesungguhnya Allah memegang dengan kekuasaan penguasa, yang tidak dapat dipelihara dan dipegang oleh Quran itu”. (H.R Ibnu Katsir).

Menurut Natsir, bila kita membicarakan pemisahan agama dan negara sering kali dikaitkan dengan negara Turki, yang berpikiran : “Dahulu di Turki ada persatuan agama dengan negara. dibuktikan dengan adanya khalifah, yang juga menjadi Amirul Mukminin. Akan tetapi waktu itu Turki merupakan negara yang terbelakang, tidak modern, negeri “sakit”, negri “bobrok”. Sekarang di Turki agama sudah dipisahklan dari negara, maka dapat dilihat Turki menjadi negara maju dan modern. Ini membuktikan bahwa politik Kemal Pasha benar”.

Jika diterangkan sebenarnya suatu negri yang pemerintahannya tidak memperdulikan kepentingan rakyat, membiarkan rakyat bodoh, yang tidak memajukan negerinya sehingga tertinggal dengan negara lain dan yang pemimpinnya menindas rakyat dengan memakai “Islam” sebagai kedok atau memakai ibadah-ibadah, sedangkan pemimpin-pemimpin pemerintahan itu penuh dengan segala macam maksiat dan membiarkan Takhayul merajalela sebagaimana keadaan pemerintahan Turki di zaman Sultan-sultan yang akhir-akhir, maka yang semacam itu bukanlah pemerintahan Islam.islam tidak menyuruh dan tidak membiarkan orang menyerahkan sesuatu urusan kepada orang yang bukan ahlinya.

Islam menyatakan bahwa akan datang kerusakan dan bencana jika sebuah urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, Islam pun tidak menyuruh atau membiarkan pemerintahan negeri diserahkan kepada orang-orang yang penuh dengan Kuraft, Takhayul dan maksiat. Dalam Quran menyatakan sesungguhnya tidak ada berhak yang menjadi pemimpin kamu, melainkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang beriman,yang mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka itu tunduk ( taat) pada perintah-perintah Allah”. (Q.S. Al-Maidah : 55).

Maka sekarang jika ada pemerintahan yang zalim yang bobrok seperti yang ada di Turki pada zaman Bani Usman, yang demikian itu bukanlah hendak kita jadikan contoh, bila kita berkata bahwa agama dan negara harus bersatu. Pemerintahan yang semacam itu tidaklah akan dapat diperbaiki “dengan memisahkan agama” seperti dikatakan Ir. Soekarno, sebab memang “agama”, sudah lama terpisah dari negara yang semacam itu. Yang semestinya dipisahkan dari negara tersebut bukanlah agamanya melainkan hanyalah kejahatan, maksiat, kemusyrikan dan kesombongan yang telah merajalela. Jika ada orang mengatakan seperti Soekarno tak ada ijma ulama tentang agama dan negara harus bersatu atau tidak sekuler dibantah oleh Natsir bila kita bermain tentang ijma maka tidak ada pula ijma ulama yang mengatakan bahwa agama dan negara tidak harus bersatu.

2. 2 Sistem Politik

Pengertian demokrasi dalam Islam memberikan hak kepada rakyat supaya mengkritik, menegur, membetulkan pemerintahan yang dzalim. Apabila tidak cukup dengan kritik dan teguran, Islam memberikan hak kepada rakyat untuk menghilangkan keDzaliman itu dengan kekuatan atau kekerasan jika itu perlu. Pernah orang bertanya kepada Rasullulah : “Apakah yang sebaik-baik jihad?” dijawab oleh Rasullulah SAW : “mengatakan barang yang hak terhadap sultan yang dzalim”. (H.R. Nasai). Raasullulah memperingatkan : “apabila orang melihat sesorang melihat kedzaliman akan tetapi mereka biarkan, tidak mereka betulkan, azabnya jatuh kepada mereka semua, baik si dzalim maupun orang-orang yang membiarkan berlakunya kedzaliman itu” (H.R Abu Daud dan Turmudzi).

Natsir pernah membantah pernyataan Soekarno tentang alasan untuk memisahkan negara dengan agama. Menurut Soekarno “Disuatu negara demokrasi yang ada dewan perwakilan rakyatnya, yang sebenarnya mewakili rakyat, toh dapat ‘dimasukkan’ segala macam keagamaannya dalam tiap-tiap tindakan negara dan ke dalam tiap-tiap wet yang dipakai di dalam negara itu walaupun disitu agama dipisahkan dari negara, asal sebagian besar dari anggota-anggota parlemen, politiknya adalah politik agama, maka semua putusan-putusan parlemen itu dengan sendirinya akan berisi fatwa-fatwa agama pula. Asal sebagian besar dari anggota-anggota parlemen itu politiknya adalah politik Islam, maka tidak akan berjalanlah satu porstel jua pun yang bersifat Islam”.

Sedangkan menurut Natsir sendiri, “kalau kebetulan sebagian besar dari anggota parlemen itu yakni yang tisak menghargai peraturan-peraturan agama sepeser pun apakah yang akan terjadi? Da bagaimana pula sebagaian besar, atau aeratus persen dari anggota-anggota parlemen itu politiknya bukan politik Islam walaupun bibirnya mengatakan beragama “Islam” juga (Islam KTP), apa pula yang akan terjadi?. Sekali lagi perlu diulang bahwa menurut pandangan kita kaum muslimin agama Islam bukanlah semata-mata suatu tambahan atau suatu ekstra yang harus dimasukkan kepada negara, tetapi menurut pandangan kaum muslim negara itu adalah menjadi alat dan perkakas bagi berlakunya hukum-hukum Islam.

Disini terletaknya perselisihan pandangan seorang Islam dengan pandangan orang yang bukan Islam”. Islam bersifat demokratis dengan arti bahwa Islam itu anti Istibdad, anti absolutisme, anti sewenang-wenang. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa dalam pemerintahan Islam itu semua urusan diserahkan kepada keputusan musyawarah majelis Syura.

Dalam parlemen negara Islam tidaklah akan dipermusyawaratan terlebih dahulu, apakah yang harus menjadi dasar bagi pemerintahan, dan tidaklah mesti ditunggu keputusan parlemen terlebih dahulu, ataun membahas masalah yang sudah jelas didalam Al-Quran dan Sunnah, ini semua bukanlah hak musyawarah parlemen. Yang dibicarakan dalam parlemen cara-cara untuk menjalankan semua hukum itu. Adapun prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang sudah tetap tidak boleh dibongkar-bongkar lagi dan tidak perlu terlebih dahulu menjalankan mekanisme musyawarah apalagi sistem voting. Sistem kenegaraan Islam tidak menggantungkan semua urusan kepada demokrasi.

Pikiran Natsir tentang demokrasi mendasarkan diri pada penafsiran Natsir tentang Ijtihad, Syura, dan Ijma. Melalui Ijtihad, Islam dihadapkan dengan dinamika perubahan masyarakat. Sementara Ijma memandu umat Islam untuk mensejajarkan langkahnya seuai kesepakatan mayoritas kaum muslimin di suatu tempat dan pada suatu zaman tentang masalah-masalah bersama senafas dengan Al-Quran dan Sunnah Nabi. Tatkala konsep Ijtihad dan Ijma itu dihubungkan oleh Natsir dengan konsep syura, sampailah Natsir pada sebuah model perwujudan demokrasi. Sebuah model parlementer yang memberi ruang besar bagi parlemen untuk mengemban amanah rakyat. Lebih lanjut, Natsir menggambarkan demokrasi sebagai sebuah pemerintahan yang mencerminkan terakomodasinya suara mayoritas dalam perumusan kebijakan dan keputusan politik. Natsir membatasi politik parlemen itu dengan batas-batas (hudud) yang telah ditetapkan Tuhan.

Natsir menamakan demokrasi ala Islam ini sebagai Theistic Democracy (demokrasi berdasar pada nilai-nilai Ketuhanan). Gagasan Natsir tentang demokrasi adalah khas gagasan Islam modernis. Tetapi jika orang lain ingin mengatakan bahwa yang semacam ini bukan demokratis tergantung pandangan masing-masing pribadi. Tetapi perlu diketahu Islam adalah uatu pengertian, suatu paham, yang memunyai sifat-sifat sendiri. Menurut Natsir, Islam tidak usah “demokrasi” seratus persen bukan pula otokrasi seratus persen, Islam itu…ya “ Islam”.

Ini berarti bahwa Islam itu tidak seperti demokrasi yang diajarkan barat tetapi memiliki prinsip-prinsip dasar demokrasi dan Islam pun menentang absolutisme dalam otokrasi. Pemerintahan Islam itu sesuai dengan apa yang ada dan telah tercantum dalam Al-Quran dan Haddist.

Muhammad Natsir adalah sorang politikus piawai. Saat menerjuni medan perang, ia menjadi panglima yang gagah berani, dan saat berdebat dengan musuh, ia tampil sebagai pakar ilmu dan dakwah. Muhammad Natsir menentang serangan membabi buta yang dilancarkan para misionaris Kristen, antek-antek penjajah dan para kaki tangan Barat maupun Timur, dengan menerbitkan majalah Pembela Islam. Ia juga menyerukan Islam sebagai titik tolak kemerdekaan dan kedaulatan, pada saat Soekarno dan antek-anteknya menyerukan nasionalisme Indonesia sebagai titik tolak kemerdekaan. Saat itu Soekarno bersekutu dengan Komunis yang terhimpun dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk melawan Muhammad Natsir dan Partai Masyumi. Pertarungan ini berlangsung hingga tahun 1961, Soekarno membubarkan Partai Masyumi dan menahan pemimpinnya, terutama Muhmmad Natsir. Namun perlawan kaum muslimin Indonesia tidak padam, terus berlanjut hingga terjadi revolusi militer yang berhasil menggulingkan Soekarno pada tahun 1965.


2.3 Sistem Pemerintahan

Dalam islam tidak kenal “ kepala agama” seperti paus atau Patriarch. Islam hanya mengenal satu “kepala agama”, ialah Muhamad rasulullah SAW. Beliau sudah wafat dan tak ada gantinya lagi untuk selama-lamanya.”kepala agama” yang bernama Muhammad ini meninggalkan satu sistem yang bernama islam, yang harus dijalankan oleh kaum Muslimin, dan harus di pelihara dan di jagasupaya dijalankan oleh “kepala-krpala kenegaraan (bergelar Raja, Khalifah, Presiden dan lainnya) yang memegang kekuasaan dalam kenegaraan kaum muslimin, sahabat-sahabat nabi yang pernah memegang kekuasaan Negara sesudah Rasulullah SAW. Seperti Abubakar, Umar, Usman, Ali tidaklah menjadi merangkap “kepala Agama”.

Mereka itu hanyalah “Kepala Keduniaan”,yang menjadikan pemrintahannya menurut aturan yang telah ditinggalkan oleh “Kepala Agama”. Bilaman dalam suatu negeri yang kebetulan Kepala Negaranya beragam Islam dan disitu terdapat pemerintahan yang bersifat dualistis, dan terdapat konflik antara yang keduniaan dan keagamaan atau antara kemauan masyarakat dengan kemauan agama, maka yang demikian bukanlah terbit dari ajaran islam.bila tejadi pertentangan atau konflik semacam itu sebenarnya kaum muslim wajib bersikap : bila betul-betul hukum dan kehendak manusia sudah bertentangan dengan hukum-hukum dan kehendak Ilahi, hukum dan kehendak Ilahi itulah yang harus berdiri, hukum dan kehendak manusia mestilah gugur! Atau dalam istilah barat itu leg superior derogut leg imperior yan artinya undang yang lebih tinggi mengalahkan undang-undang yang lebih rendah.

Dalam sistem pemerintahan ini jelas terlihat ada sebuah check and balance system, karena kepala kenegaraan dapat berkuasa menetukan setiap kebijakan dalam negerinya namun ada majelis syura yang di dalamnya terdapat orang-orang yang ahli dalam bidangnya masing-masing untuk membahas masalah yang terjadi dan belum di atur dalam Qur’an maupun Hadist.dan hubungan pemerintah dengan rakyat pun akan terjalin harmonis karena sudah otomatis menjadi pekerjaan kepala negara untuk mensejahterakan rakyat, bahkan rakyat dan melakukan kritik terhadap pemerintahan bila pemerintahan.

Banyak hal yang di lakukan natsir pada masa demokrasi parlementer natsir menjadi perdana mentri yang pertama,banyak kebijakan yang di buat oleh nya seperti menyuksekan pemilu tahun 1955, mendewasakan rakyat dalam berpolitik.

“Pilihlah salah satu dari dua jalan, Islam atau Atheis.” adalah kutipan pidato Muhammad Natsir di Parlemen Indonesia di masa kemerdekaan. Muhammad Natsir adalah tokoh Islam kontemporer dunia Islam, mujahid dan politikus piawai. Mencurahkan segenap kemampuan untuk menjadikan Islam sebagai sistem pemerintahan Indonesia, dan melawan orang-orang yang menghalangi tegaknya Islam.Hingga riwayat hidupnya tercatat dalam buku “Mereka yang telah pergi, Tokoh-tokoh Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer”.


2.4 Konsep Kenegaraan

M. Natsir dalam pemikirannya memiliki konsep kenegaraan yang beupa negara Islam. Dimana negara menjadi instrumen atau alat untuk menerapkan syariat islam. Karena pada hakikatnya manusia itu di ciptakan untuk karena telah jeas di dalam aturan-aturan yang di berikan Allah SWT, telah mengatur hubungan antara manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan. Bagi M. Natsir sebuah negara itu harus di pimpin oleh orang yang berasal dari kaum muslimin karena dalam islam tidak mungkin dipimpin oleh orang yang bukan berasal dari kaumnya. Jelas bahwa M. Natsir bukanlah pendukung sekularisme dalam negara yaitu memisahkan anatara agama dengan negara. Banyak kritikannya terhadap konsep negara yang dibuat oleh turki muda. Natsir pernah berujar bahwa “Islam tidak terbatas pada aktivitas ritual muslim yang sempit, tapi pedoman hidup bagi individu, masyarakat dan negara. Islam menentang kesewenang-wenangan manusia terhadap saudaranya. karena itu, kaum muslimin harus berjihad untuk mendapatkan kemerdekaan. Islam menyetujui prinsip-prinsip negara yang benar. Karena itu, kaum muslimin harus mengelola negara yang merdeka berdasarkan nilai-nilai Islam. Tujuan ini tidak terwujud jika kaum muslimin tidak punya keberanian berjihad untuk mendpatkan kemerdekaan, sesuai dengan nilai-nilai yang diserukan Islam. Mereka juga harus serius membentuk kader dari kalangan pemuda muslim yang terpelajar.”


2.5 Keterpengaruhan Ideologi

Seperti kita ketahui bahwa Natsir merupakan seorang ang lahir di tengah-tengah keluarga yang memeluk Islam dengan kuat. Maka itu pun menjadi pengaruh untuk ideologinya kedepan. Natsir banyak dilatih dalam ilmu agama dan guru-guru Natsir seperti ahmad husain, HOS Tjokroaminoto pulalah yang membentuk dan mempengaruhi ideologi nya yaitu Islam. Bagi Natsir sudah jelas bahwa dalam setiap langkah dan setiap perbuatnnya di dasarkan untuk beribadah kepada Allah SWT. Ada beberapa tokoh islam yang menjadi tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam dirinya dan mempengaruhi perjuangannya, yaitu: “Haji Syaikh Muhammad Amin Al-Husaini, Imam Asy Syahid Hasan Al-Banna dnImam Al-Hudhaibi. Sedang tokoh tokoh Indonesia adalah Syaikh Agus Salim dan Syaikh Ahmad Surkati.”


2.6 Bentuk Negara

Jika timbul pertanyaan bahwa pada suatu negara seperti Indonesia , kalau segala sesuatu urusan di atur menurut kemauan islam, sedangkan penduduknya ada bermacam-macam Agama?maka di jawab apabila kekuasaan ada dalam tangan orang islam , orang yang beragama lain tidak perlu khawati. Karena dalam satu negara yang berdasar islam,orang-orang yang bukan islam mendapatkan kemerdekaan beragama dengan luas. Bahakan mungkin lebih luas lagi dari yang di berikan negara-negara Eropa Terhadap agama-agama yang ada disana.dan tidak akan memberikan kerugian apapun bagi penduduk yang bukan beragama islam apabila dalam negeri itu berlaku hukum-hukum islam dalam urusan muamalah. Karena peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan hal-hal semacam itu. Dengan berlakunya undang-undang islam, agam mereka tidak akan terganggu,tidak akan rusak dan tidak akan berkurang sedikit pun.

Tetapi sebaliknya, orang yang tidak mau mendasarkan Negara kepada hukum-hukum islam dengan alasan tidak mau menyakiti hati orang yang bukan beragama islam, sebenarnya (secara sadar maupun tidak) berlaku dzalim kepada orang islam sendiri yang jumlahnya lebih dari 80 persen jumlah penduduk yang ada di indonesia. Tindakan seperti itu mengugurkan sebagian besar dari peraturan-peraturan Agama Islam. Ini berarti merusakan hak-hak mayoritas, bukan lantaran hak-hak itu berlawanan dengan hak-hak kepentingan minoritas, tapi semata takut,apabila si minorotas tidak suka.

Ketika Belanda hendak menjadikan Indonesia negera serikat, Muhammad Natsir menentangnya dan mengajukan pembentukan negara Kesatuan Republik Indonesia. Usulan ini disetujui 90% anggota Masyumi. Tahun 1950, ia diminta membentuk kabinet sekaligus menjadi perdana Menterinya. Tapi belum genap setahun ia dipecat karena bersebrangan dengan presiden Soekarno. Ia tetap memimpin Masyumi dan menjadi angota parlemen hingga tahun 1957.


BAB III

KESIMPULAN


Bagi Natsir agama Islam berlainan dengan agama lainnya,karena di dalam Islam mempunyai aturan yang beberapa bagiannya berkenaan dengan hukum kenegaraan dan hukum pidana, yang mana semuanya tak dapat dipisahkan dari Agama Islam itu sendiri.

Orang yang tidak mau kalau Negara menjalankan semua peraturan-peraturan Agama Ialam yang berhubungan dengan hal-hal yang tersebut, dengan mengatakan bahwa Negara harus berdiri diatas semua Agama atau dengan alasan bahwa kita perlu “demokratis”.pada hakikatnya bukan memisahakan Agama dari Negara, melainkan melemparkan sebagian dari hukum –hukum islam yang berkenaan dengan hal-hal kenegaraan dan hukum muamalah.

Islam memang bersifat demokratis tetapi bukan berarti bahwa semua hal (termasuk juga hukum-hukmnya yang sudah tetap) harus diatur ulang pula lebih dahulu dalam parlemen, dimana nasibnya di gantungkan kepada sistem voting.

Orang berkata, bahwa kita kaum muslimin haruslah bergerak dan berjuang dengan sekuat tenaga, agar mendapatkan suara yang terbanyak dalam parlemen dan dengan begitu mungkin bisa memasukan Hukum-hukum islam menjadi undang-undang Negara. Akan tetapi semata-mata hanya suatu nasihat yang harus kita hadapkan kepada kaum muslimin yang berada dibawah pemerintah yang kekuasaanya dipegang oleh orang-orang bukan islam. Yang menjsdi pokok pembicaraan , ialah bagaimanaka kaedah, apakah prinsip-prindipnya orang islam itu dalam mengatur negara, bilamana kekuasaan negara sudah dapat di tangan mereka. Ini perlu di perhatikan agar umat tidak tertipu.

Bagi kaum kita yang berhakim kepada firman Allah dan sunnah Rasul dalam masalah yang bersangkutan dengan agama Islam, cukup kiranya kalau kita persilahkan membuka Kitab Allah sendiri, dimana boleh dikatakan berteberan Firman Ilahi yang dengan tgas dan nyata serta mudah di pahami, yang mendudukan perkara ini pada tempatnya dengan tidak usah berpanjang falsafah mengenai sekuler atau tidak sekuler, dinamis atau tidak dinamis, Allah berfirman : “sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab dengan Haq, supaya engkau menghukum (dengan kitab itu) diantara manusia, dengan cara yang kami tunjukan kepadamu”. (Q.S> An-Nisa : 105). Yang bisa menghukum diantara manusia, ialah yang memegang kekuasaan atau penguasa. “dan jatuhkanlah hukum hukum diantara mereka dengan (berdasar kepada) apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah turutkan hawa nafsu mereka. (Q.S> Al-Maidah : 49). Kalau mereka yang memegang kekuasaan, dan yang berhak meberi hukum, antara penduduk negeri tidak mengambil Undang-undang ilahi sebagai dasar, tetapi menurut hawa zaman dan kedinamisan rasionalisme yang ta terbatas,maka dia itu bukanlah “memisahkan” Agama dari Negara tetapi melemparkan hukum-hukum Agama yang bersangkutan.

Review Desa Adat: Antara Otentisitas dan Demokrasi, Oleh AAGN Ari Dwipayana

Semenjak transisi politik yang di mulai pada Mei 1998, telah menimbulkan pergeseran pada ”state formation’ dan ’social formation’, baik pada tinkat lokal maupun tingkat nasional. Pada tingkat nasional, terjadi pergeseran tata hubungan kekuasaan antar institusi politik utama ke arah sistem parlementaianisme, maupun antara pusat dengan daerah-lokalitas. Pergeseran locus politik itu berjalan beriringan dengan menurunnya kredibilitas dari negara.
Penurunan kredibilitas negara terseut diakibatkan oleh 2 hal yaitu, pertama, pola pengaturan politik (rejimitasi) pada masa orde baru yang dianggap melakukan marginalisasi. Kedua, terjadinya fragmentasi yang luas pada semua arena institusi kenegaraan pada era orde Baru akibat akibat terbangunya konstetasi antar aktor politik.
Ditengah krisis kepercayaan atau menurunnya legitimiasi negara, daerah pun melakukan reposisi terhadap tata hubungan daerah dengan pusat. Rumusan reposisi ini menghasilkan konflik antara pusat-daerah hampir dalam segala bidang.
Dalam konteks bali tuntutan untuk memperbaharui tata hubungan lokal dengan pusat, tercermin dari berbagai macam ekspresi yang bersifat pengukuhan identitas Ke-Bali-an. Ini bisa dilihat dalam tiga kategori. Pertama, ia bisa jadi muncul sebagai instrumen dari aktor lokal terhadap berbagai proses sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di bali. Kedua, sebagai invensi dari modernitas dan negara. Ketiga, adanya resistensi dan invensi yang saling menguatkan identitas kebalian.
Negara seperti halnya juga modernitas, juga melakukan politik penyeragaman melalui ”’negaraisasi’ yang menyebabkan marginalisasi desa adat. Marginalisasi desa adat di bali dimulai sejak masuknya kolonial Belanda ke Bali Selatan (1906-1908), menggantikan posisi kerajaan atas desa-desa. Kolonial Belanda menerapkan dua sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan langsung di bawah pemerintahan kolonial dan sistem pemerintahan sendiri oleh raja-raja yang disebut daerah swapraja.
Dengan demikian muncul dualisme desa, yaitu desa adat dan desa dinas.urusan agama dan adat dipegang oleh desa adat, sedangkan urusan administrasi pemerintahan dilakukan oleh desa dinas.
Beberapa assesment terhadap tata hubungan pusat-daerah serta instrumen yang digunakan oleh daerah dalam berhadapan dengan negara menunjukan beberapa keterbatasan. Pertama, adalah tata hubungan pusat-daerah yang belum menunjukan perimbangan relasi, melainkan dapat dikatakan otonopmi setengah hati. Kedua, belum jelasnya tata hubungan negara dengan komunitas. Di Bali, persoalan tata hubungan negara dan komunitas muncul dalam beberapa isu strategis, yaitu :
a. dualisme pemerintah Desa. Ada tiga kelompok pemikiran menyangkut eksistensi desa dinas. Pertama, kelompok pemikiran yang ingin menghapuskan desa dinas karena dianggap sebagai instrumen kepentingan luar desa untuk masuk desa. Solusi yang ditawarkan adalah fungsikedinasan dimasukan ke dalam desa adat. Kedua, pemikiran yang ingin tetap mempertahankan pola hubungan seperti saaat ini. Ketiga, pemikiran yang ingin mempertegas wilayah kewenangan desa adat dan desa dinas.
b. Tata Hubungan kabupaten-desa adat.selama ini tata hubungan kabupaten dan desa adat belum dirumuskan secara jeas.
c. Pengakuan desa adat sebagai entitas hukum.
Ketiga, konflik antar komunitas adat. Muncul fenomena konflik antar desa adat. Tidak hanya soal batas wilayah, tetapi juga soal tanah-tanah adat. Hal ini juga menyangkut sejauhmana intervensi negara bisa dilakukan dalam konflik komunitas. Keempat, persoalan kapasitas dari komunitas untuk menghadapi kekuatan supra lokal (kapitalisme pasar, kelompok keagamaan, entitas politik, penyeragaman budaya). Kelima, instrumen yang digunakan oleh desa adat justru bisa menimbulkan persoalan demokratisasi baru. Atavisme bisa mengarah pada penguatan kembali institusi dan aktor politik masa lalu yang undemocratic (feodalisme atau oligarkis). Indigenisme bisa memancing rasisme yang anti pluralisme maupun multikulturalisme. Keenam, aspek adaptasi dari komunitas terhadap nilai-nilaibaru, seperti birokratisasi, governance, teknokrasi.

PENGERTIAN KOMUNIKASI PEMERINTAHAN DAN APLIKASINYA DI INDONESIA


Komunikasi pemerintahan itu terdiri dari dua kata yaitu komunikasi dan pemerintahan. Maka sebelum berbicara lebih lanjut mengenai komunikasi pemerintahan, ada baiknya kita mengetahui pengertian dari komunikasi dan pemerintahan itu sendiri.
Objek materiil ilmu komunikasi ialah perilaku manusia, yang dapat merangkum perilaku individu, kelompok dan masyarakat. Sedangkan objek formalnya ialah situasi komunikasi yang mengarah pada perubahan sosial termasuk pikiran, perasaan, sikap dan perilaku individu, masyarakat, dan pengaturan kelembagaan.
Menelusuri kata komunikasi, berasal dari bahasa latin yaitu communicatio bersumber dari perkataan communis yang berarti sama. Menurut Gde secara etimologis mendefinisikan,
“ komunikasi sebagai proses yang membuat suasana berbeda dalam kebersamaan kepada dua orang atau lebih yang tadinya monoopoli satu orang saja”
Ada banyak pengertian dari komunikasi yang di berikan oleh beberapa para ahli komunikasi. Ada pendapat yang menyatakan bahwa komunikasi sebagai pengoperasian ide dan gagasan untuk menyatukan kekuatan sehingga terjadi interaksi antara orang-orang yang berkomunikasi, menuju pencapaian tujuan bersama (kesamaan makna).
Ada juga yang mengatakan bahwa komunikasi ialah proses interaksi yang di dalamnya terdapat ide-ide, gagasan-gagasan, yang disampaikan oleh seseorang komunikator kepada komunikan baik secara verbal maupun non verbal dalam bentuk simbol-simbol atau lambang-lambang yang berarti dengan tujuan untuk merubah sikap atau perilaku seseorang.
Dari pengertian dan asal komunikasi diatas apabila dicirikan merupakan suatu karakteristik dari makna yang relevan dengan komunikasi manusia, yakni kebersamaan. Dengan demikian pengertian yang berkaitan dengan komunikasi pada kenyataanya adalah fenomena sosial.
Maka dapat kita tankap Substansi dari komunikasi yaitu kesamaan pola pandang walaupun terdapat perbedaan field of experience dan frame of reference.
Dan adapun pengertian pemerintah dengan pemerintahan harus di bedakan yaitu,
1. pemerintah berarti badan yang melakukan kekuasaan memerintah.
2. pemerintahan berarti perbuatan, cara, hal atau urusan dari badan yang memerintah tersebut.
Di beberapa negara, antara pemerintah dan pemerintahan tidak dibedakan. Inggris menyebutnya government dan prancis gouvernment keduanya berasal dari perkataan latin gubernacalum. Dalam bahasa arab disebut hukumat sedangkan di belanda mengartikan regering sebagai penggunaan kekuasaan negara oleh yang berwenang dalam rangka mewujudkan tujuan negara, dan sebagai penguasa menetapkan perintah-perintah.
Jadi regen digunakan untuk pemerintahan pada tingkat nasional atau pusat. Bestuur diartikan keseluruhan badan pemerintahan dan kegiatannya langsung berhubungan dengan usaha mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Musanef memberikan definisi ilmu pemerintahan sebagai berikut.
Ilmu pengetahuan yang menyelidiki bagaimqana sebaiknya hubungan antara pemrintah dan yang di perintah, dapat diukur sedemikian rupa sehingga dapat dihindari timbulnya berbagai pertentangan antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, dan mengusahakan agar terdapat keserasian pendapat serta daya tindak efektif atau efisien dalam pemerintahan.
Dari definisi diatas dan tujuannya dapat disimpulkan bahwa tujuan dari komunikasi dan pemerintahan itu sama yaitu kesejahteraan rakyat.
Adapun komunikasi pemerintahan dari gabungan dua pengertian diatas yaitu komunikasi pemerintahan adalah, proses penyampaian ide-ide, gagasan-gagasan dan program pemerintah kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan negara yaitu kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini pemerintah di asumsikan sebagai komunikator dan masyarakat sebagai komunikan, namun bila merujuk pada komunikasi model circular, masyarakat pun dapat menjadi meberikan ide atau gagasan pada pemerintah atau sering dikatakan dengan proses feedback terhadap setiap kebijakan/ pesan yang dikeluarkan pemerintah terhadap rakyat.
Perkembangannya komunikasi pemerintahan di indonesia dewasa ini mendapat perhatian yang cukup besar dari pemerintah yang di pimpin oleh bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagai seorang yang dididik dalam lingkungan militer sekaligus jendral sudah tentu dia merupakan ahli strategi di balik sifat yang dianggap oleh khalayak sebagai peragu dalam melakukan ataupun membuat kebijakan. Basik yang ia punya sebagai ahli strategy tentu sangat berguna jika di aplikasikan dalam peranannya sebagai komunikator pemerintahan. Pemerintah sebagai komunikator saat ini sering melakukan lemparan-lemparan nwacan untuk mengetahui keinginan atau reaksi masyarakat.
Salah satu contohnya dalam setiap membuat kebijakan akan menaikan harga BBM, pemerintah jauh-jauh hari sudah mengatakan bahwa BBM pada tanggal sekian akan naik sehingga memicu reaksi dari masyarakat. Dan reaksi ini di tanggapi pemerintah dengan jalan menunda kenaikan BBM, lalu memberikan pesan-pesan komunikasi dalam media massa atau setiap kesempatan pemerintah berbicara dengan memberi alasan-alasan mengapa harga BBM harus naik, seperti naiknya hrga minyak dunia, ataupun adanya pengalihan subsidi BBM agar subsidi tersebuit tepat sasaran.
Contoh tersebut menunjukan bahwa pemerintah saat ini menggunakan komunikasi pemerintahan sebagai alat untuk mencapai tujuan, dan persamaan persepsi di antara masyarakat dan pemerintah terhadap suatu kebijakan.
Komunikasi pemerintahan yang terjadi di indonesia pun lebih cenderung pada model komunikasi dua arah dimana komunikator/pemerintah mendapat masukan-masukan dari komunikan/masyarakat sebagai bahan pertimbangan dalam setiap langkahnya ketika membuat kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan masyarakat.

Sejarah Pembentukan UUPA

Pada masa Hindia Belanda sebelum berlakunya UUPA selain pendaftaran tanah-tanah Hak Barat dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, dijumpai juga kegiatan pendaftaran tanah dengan tujuan lain. Kegiatannya sama dan yang menyelenggarakan juga Pemerintah, tetapi bukan bagi kepentingan rakyat, melainkan bagi kepentingan Negara sendiri yaitu untuk keperluan pemungutan pajak tanah. Maka kegiatannya disebut "kadaster fiscal" atau "fiscal cadastre"
Sampai tahun 1961 ada tiga macam pemungutan pajak tanah yaitu :
1. Untuk tanah-tanah Hak Barat : Verponding Eropa;
2. Untuk tanah-tanah hak milik adat yang ada di wilayah Gemeente : Verponding Indonesia dan;
3. Untuk tanah-tanah hak milik adat luar wilayah Gemeente: Landrente atau Pajak Bumi.
Dasar penentuan obyek pajaknya adalah status tanahnya sebagai tanah Hak Barat dan tanah hak milik adat. Sedang wajib pajak adalah pemegang hak/pemiliknya. Biarpun yang menguasai tanah memintanya, kalau tanah yang bersangkutan bukan tanah Hak Barat atau tanah hak milik adat, tidak akan dikenakan pajak Verponding atau Landrente.
Landrente atau Pajak Bumi hanya dikenakan di Jawa dan Madura (S. 1927-163 jo 1931-168), Bali dan Lombok (S. 1922-812), Sulawesi (S.1927-179), Daerah Hulu Sungai Kalimantan (S.1923-484), (S. 1925-193, S. 1932-102) dan Bima (1926), Dompu dan Anggar (1927) serta Sumbawa (1929).
Maka lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960 merupakan peristiwa penting di bidang agraria dan pertanahan di Indonesia. Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA tersebut kebijakan-kebijakan pertanahan di era pemerintahan kolonial belanda mulai ditinggalkan. Undang-undang yang disusun di era pemerintahan Presiden Soekarno ini menggantikan Agrarische Wet 1870 yang terkenal dengan prinsip domein verklaringnya (semua tanah jajahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan pembuktian hukum barat, maka tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah milik negara/ milik penjajah belanda). UUPA merupakan produk hukum pada era Orde Lama yang menghendaki adanya perubahan dan pembaharuan di bidang agraria dan pertanahan serta menghendaki terwujudnya pembangunan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kebijakan pemerintahan pada saat itu lebih diupayakan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana telah digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lahirnya UU ini sudah lama dicita-citakan pemerintah yaitu untuk merombak seluruh sistem dan filosofi Agraria di Indonesia.
Pekerjaan membuat suatu hukum Agraria yang unifikasi bagi seluruh rakyat Indonesia tidaklah semudah seperti yang kita pikirkan. Banyak faktor yang mempengaruhinya, apakah itu karena konstelasi politik pada saat panitianya dibentuk, ataupun ketika pembicaraan-pembicaraan di Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk mewujudkan hal tersebut diatas dilakukan suatu upaya reformasi di bidang pertanahan (Landreform) yang pada waktu itu dikenal dengan Panca Program Agrarian Reform Indonesia, meliputi :
1. Pembaharuan Hukum Agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum.
2. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah.
3. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.
4. Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan.
5. Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya serta penggunaannya secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.
pada tanggal 1 September 1960 Rencana Undang-Undang tersebut telah dibicarakan dalam rapat gabungan komisi-komisi, pemerintah pada waktu itu diwakili oleh Menteri Agraria Mr.Sadjarwo.
Dalam memori penjelasan rancangan Undang-undang Pokok Agraria disebutkan :
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum Agraria Nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keaditan bagi Negara dan rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Rancangan Undang-Undang ini selain akan menumbangkan puncak kemegahan modal asing yang telah berabad-abad memeras kekayaan dan tenaga bangsa Indonesia hendaknya akan mengakhiri pertikaian dan sengketa-sengketa tanah antara rakyat dan kaum pengusaha asing.
Selanjutnya Manifesto politik sebagai landasan politik atau sebagai garis-garis besar dari pada Haluan Negara sesuai dengan Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 (LN 1960 – 10), sebagaimana kita ketahui yang menjadi landasan politik UUPA telah dicabut dengan Tap MPRS No. XXXVIII/MPRS/1968. Dalam konsideransi "memutuskan" dengan jelas telah mencabut ketentuan-ketentuan Agraria dari zaman Hindia Belanda. yaitu azas Domein sebagai dasar dari pada Perundang-undangan Agraria yang berasal dari Pemerintah Belanda (Ps. 1 Agraris Besluit S. 1870-118) S.1875-119 a, S. 1874-94 f, S.1877-55 dan S.1888-58 ditinggalkan dan dicabut (lihat juga Memori Penjelasan lI/2). bahwa perombakan hukum Agraria Nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkeraman, pengaruh dan sisa-sisa penjajah. Menurut Boedi Harsono, pandangan kritis berbagai aspek dalam Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria di daerah Jambi ada dijelaskan bahwa Indonesia pernah mengenal beberapa politik pertanahan pada zaman Raffles, Daendels, Van den Bosch dan terakhir Domeinverklaring seperti tersebut di atas. Makna Undang-Undang pokok Agraria ini sangat penting, terutama menyangkut pemanfaatan hutan cadangan yang sebagian besar belum dikuasai. Salah satu hal yang penting dalam UUPA ialahpengakuan terhadap berlakunya hukum adatterhadap tanah yang disebutkan bahwa sepanjang masih ada dan berlaku, dengan kewajiban agar melepaskan haknya atas tanah tersebut apabila dibutuhkan untuk kepentingan umum,kepentingan pemerintah atau kepentingan pembangunan. Namun yang jelas sekarang bahwa UUPA adalah sebagai perwujudan dari pada ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Badan permusyawaratan desa dalam perspektif PP72 Tahun 2005


Pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberi kewenangan kepada desa menyelenggarakan rumah tangga sendiri bersama Badan Perwakilan Desa sebagai badan legislatif desa, dalam perjalanannya membuktikan bahwa BPD belum siap menyelenggarakan demokrasi di desa.
Sering terjadi benturan antara kepala desa dan BPD. Misalnya, ketika menerima laporan pertanggungjawaban kepala desa, BPD menolak dengan berbagai dalih sehingga keberadaan BPD justru menimbulkan benturan antarlembaga di desa.
tujuan pembentukan BPD yaitu untuk mendorong tumbuhnya demokrasi di pedesaan yang berfungsi secara efektif sebagai lembaga perwakilan, tanpa campur tangan pemerintah.
Oleh karena itu, BPD dilepaskan dari unsur eksekutif desa. BPD berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah desa.
Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuatPeraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Fungsi pengawasan Badan Perwakilan Desa meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, danKeputusan Kepala Desa.
Dalam pelaksanaan tugasnya Pimpinan Badan Perwakilan Desa dibantu olehSekretariat Badan Perwakilan Desa. Sekretariat, dipimpin seorang Sekretaris yang diangkat oleh Kepala Desa atas persetujuan Pimpinan Badan Perwakilan Desa dan bukan dari Perangkat Desa
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. BPD dapat dianggap sebagai "parlemen"-nya desa. BPD merupakan lembaga baru di desa pada era otonomi daerah di Indonesia.
Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Pimpinan dan Anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa.
Peresmian anggota BPD ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota, dimana sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama dihadapan masyarakat dan dipandu oleh Bupati/ Walikota.
Ketua BPD dipilih dari dan oleh anggota BPD secara langsung dalam Rapat BPD yang diadakan secara khusus. BPD berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Wewenang BPD antara lain:
Membahas rancangan peraturan desa bersama Kepala Desa, Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa, Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Desa, Membentuk panitia pemilihan Kepala Desa, Menggali,menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat; dan Penggunaan nama/istilah BPD tidak harus seragam pada seluruh desa di Indonesia, dan dapat disebut dengan nama lain.

Mungkinkah Pelembagaan Demokrasi di Desa?

Sebelum menjawab ya atau tidak mungkinkah pelembagaan demokrasi di desa, terlebih dahulu saya akan mengemukakan konsep demokrasi dan desa terlebih dahulu. Konsep demokrasi secara umum mengandaikan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Ide dasar demokrasi mensyaratkan keikutsertaan rakyat, serta kesepakatan bersama atau konsensus untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama. Sklar mengajukan lima corak atau model Demokrasi yaitu :

1. Demokrasi Liberal, yaitu pemerintahan yang dibatasi oleh undang-undang dan pemilihan umum bebas yang diselenggarakan dalam waktu yang ajeg. Banyak negara afrika menerapkan model ini hanya sedikit yang bisa bertahan.
2. Demokrasi terpimpin. Para pemimpin percaya bahwa semua tindakan mereka dipercaya rakyat tetapi menolak pemilihan umum yang bersaing sebagai kendaraan untuk menduduki kekuasaan.
3. Demokrasi Sosial, yaitu yang menaruh kepedulian pada keadilan sosial dan egalitarianisme bagi persyaratan untuk memperoleh kepercayaan politik
4. Demokrasi partisipasi, yang menekankan hubungan timbale balik antara penguasa dan yang dikuasai.
5. Demokrasi konstitusional, yang menekankan proteksi khusus bagi kelompok-kelompok budaya yang menekankan kerja sama yang erat di antara elit yang mewakili bagian budaya masyarakat utama.

Selanjutnya pembagian Demokrasi dilihat dari segi pelaksanaan menurut Inu Kencana Syafiie terdiri dari dua model yaitu Demokrasi langsung yakni terjadi bila rakyat mewujudkan kedaulatannya pada suatu negara dilakukan secara langsung, dan Demokrasi tidak langsung, yakni Demokrasi yang terjadi bila untuk mewujudkan kedaulatannya tidak secara langsung berhdapan dengan pihak eksekutif, melainkan melalui lembaga perwakilan Demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru hampir selalu dibicarakan secara berkaitan dengan pembentukan sistem politik yang mencerminkan prinsip keterwakilan, partisipasi, dan kontrol. Oleh karenanya, pemerintahan yang demokratis mengandaikan pemisahan kekuasaan dalam tiga wilayah institusi yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Suatu pemerintahan dikatakan demokratis jika terdapat indikator utama yaitu keterwakilan, partisipasi dan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh ketiga institusi tersebut. Prinsip partisipasi menjamin aspek keikutsertaan rakyat dalam proses perencanaan pembangunan daerah; atau keikutsertaan rakyat dalam proses pemilihan wakil dalam lembaga politik; sedangkan prinsip kontrol menekankan pada aspek akuntabilitas pemerintahan. Dalam demokrasi, aspek kelembagaan merupakan keutamaan dari berlangsungnya praktik politik yang demokratis, sehingga, terdapat partai politik, pemilihan umum dan pers bebas. Sedangkan, menurut saya masih ada lagi satu konsep demokrasi asli yang menggunakan istilah ‘ lokal’ mengacu kepada ‘arena’ tempat praktek demokrasi itu berlangsung serta telah ada juga sejak zaman dahulu, yaitu pada entitas politik yang terkecil, desa.

Desa secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta, deca yang berarti tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran. Dari perspektif geografis, desa atau village diartikan sebagai ‘a group of houses and shops in a country area, smaller than a town’. Istilah desa hanya dikenal di Jawa, sedangkan di luar Jawa misalnya di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi, sebutan untuk wilayah dengan pengertian serupa desa sangat beranekaragam,sesuai dengan asal mula terbentuknya area desa tersebut, baik berdasarkan pada prinsip-prinsip ikatan genealogis, atau ikatan teritorial, dan bahkan berdasarkan tujuan fungsional tertentu (semisal desa petani atau desa nelayan, atau desa penambang emas) dan sebagainya. Desa atau nama lainnya, sebagai sebuah entitas budaya, ekonomi dan politik yang telah ada sebelum produk-produk hukum masa kolonial dan sesudahnya, diberlakukan, telah memiliki asas-asas pemerintahan sendiri yang asli, sesuai dengan karakteristik sosial dan ekonomi, serta kebutuhan dari rakyatnya. Konsep desa tidak hanya sebatas unit geografis dengan jumlah penduduk tertentu melainkan sebagai sebuah unit teritorial yang dihuni oleh sekumpulan orang dengan kelengkapan budaya termasuk sistem politik dan ekonomi yang otonom.

Saat ini, demokrasi (lokal) dan desentralisasi, merupakan dua isu utama dalam statecraft Indonesia pasca Orde Baru. Desentralisasi secara umum dikategorikan ke dalam dua perspektif utama, yakni perspektif desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi. Perspektif desentralisasi politik menerjemahkan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah; sedangkan perspektif desentralisasi administrasi diartikan sebagai pendelegasian wewenang administratif dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Jika desentralisasi merupakan arena hubungan antara desa dengan pemerintah supra desa (Negara) yang bertujuan untuk memberikan pengakuan terhadap eksistensi desa, memperkuat identitas lokal, membangkitkan prakarsa dan inisiatif lokal, serta membagi kekuasaan dan kekayaan kepada desa, dan mewujudkan otonomi desa; maka demokratisasi merupakan upaya untuk menjadikan penyelenggaraan pemerintah (desa) menjadi lebih akuntabel, responsif, diakui oleh rakyat; mendorong parlemen desa berfungsi sebagai badan perwakilan dan intermediary agent (dalam aspek artikulasi dan agregasi kepentingan, formulasi kebijakan serta kontrol terhadap eksekutif desa); serta memperkuat partisipasi masyarakat desa dalam proses pemerintahan dan pembangunan desa. Partisipasi juga menandai keikutsertaan kalangan marjinal yang selama ini disingkirkan dari proses politik dan ekonomi.
Perspektif desentralisasi politik menekankan bahwa tujuan utama dari desentralisasi adalah untuk mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal sebagai persamaan politik, akuntabilitas lokal, dan kepekaan lokal. Perspektif desentralisasi administrasi lebih menekankan pada aspek efisiensi penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan ekonomi di daerah, sebagai tujuan utama dari desentralisasi. Sedangkan desentralisasi politik ini pada tingkat desa menekankan pada aspek kelembagaan desa, pembagian peran serta berfungsi atau tidaknya kelembagaan desa.

Dari pemaparan konsep demokrasi dan desa diatas maka menurut saya zaman boleh berubah, tapi akar dari perubahan zaman tidak boleh tercerabut. Nilai-nilai demokrasi yang membentuk kehidupan Desa sama sekali patut dilembagakan secara rapi. Tapi, demokrasi ala barat telah terlalu jauh masuk dalam masyarakat desa. Maka dalam tata pergaulan masyarakat desa, gaya demokrasi pun mulai berubah dari basis kultural menjadi demokrasi intra kultural. Dalam arus demokrasi (barat) ini. seperti telah dipaparkan diatas demokrasi sesuai dengan konsep-nya memiliki makna gradual. Ada demokrasi yang diartikan sebagai demokrasi prosedural yang menekankan ‘bagaimana’ pemerintahan dibentuk dengan cara-cara ‘fairness”. Dan demokrasi juga bermakna sebagai ‘ajaran universal’ yang mengedepankan nilai-nilai kesamaan, keterbukaan, dan toleransi. Persis dengan ‘negara madinah’ yang digubah oleh Nabi Muhammad saw, di mana nilai-nilai demokrasi kultural secara alamiah membentuk sikap masyarakat Madinah dalam mengekspresikan kehidupan bernegara.

Sebenarnya, demokrasi barat sama sekali bukanlah musuh bagi demokrasi lokal di mana pun. Dengan demokrasi (barat) berarti demokrasi lokal akan semangkin kaya dengan nilai-nilai universal yang sangat mungkin diadopsi dan kemudian dipraktekkan dalam perilaku masyarakat desa. Kondisi ini, menuntut perlunya ‘eksperimen’ pemikiran tentang demokrasi lokal. Hal ini, mengingat demokrasi adalah sesuatu yang lahir dari interaksi nilai-nilai yang tumbuh secara periodik dan pada akhirnya membentuk bangunan ‘politik’ bagi sebuah struktur. David Held menilai eksperimen demokrasi sebagai sarana argumen yang mencuat dari “raison d’etre” tradisi yang saling berkelidan. Hingga eksperimen ini berfungsi sebagai kekuatan yang akan membentuk demokrasi yang asli dan diterima sebagai sebuah kenyataan kultural dari tradisi.