Thursday, March 1, 2012

Kasman Singodimejo: Singa Podium , Penuntut Islam Sebagai Dasar Negara

Kasman Singodimejo adalah orang yang diperintahkan oleh Soekarno untuk melunakkan hati Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum PP Muhammadiyah saat itu, yang tetap keukeuhdengan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, diktum soal kewajiban menjalankan syariah Islam. ksatria saleh dari purworejo, Jawa Tengah ini merasa ‘bersalah’ atas keberhasilan lobinya tersebut. Kasman menyadari dirinya terlalu praktis dan tidak berpikir jauh dalam memandang Piagam Jakarta. Ia hanya terbuai dengan janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat memperbaiki kembali semua itu.
Seperti diceritakan di atas, karena lobi personal ala Kasman Singodimejo yang diminta untuk melunakkan hati Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum PP Muhammadiyah saat itu yang tetap keukeuh dengan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, diktum soal kewajiban menjalankan syariat Islam dihapuskan.
Kasman, seperti ditulis dalam memoirnya mengatakan, sikap itu diambil karena tokoh-tokoh saat itu tidak mau negeri yang baru saja diprokalmirkan kemerdekaannya pecah karena perdebatan soal tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Apalagi, ada konsesi, tujuh kata itu diganti dengan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang dalam pengertian Kasman identik dengan Islam.
Dalam memoirnya Hidup Adalah Perjuangan: 75 Tahun Kasman Singodimejo, ia menceritakan, kedatangannya ke Gedung Pejambon Jakarta dan diminta sebagai anggota tambahan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah atas permintaan Soekarno. Padahal, ketika itu ia sedang bertugas di Jawa barat. Sebagai Panglima Tentara saat itu, ia ditugaskan mengamankan senjata dan mesiu untuk tidak jatuh ke tangan Jepang.
Setelah sukses melobi Ki Bagus Hadikusumo dan rapat memutuskan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut, malam harinya Kasman gelisah tak bisa tidur. Kepada keluarganya ia tak bicara, diam membisu:
”Alangkah terkejut saya waktu mendapat laporan dari Cudhanco Latief Hendraningrat, bahwa balatentara Dai Nippon telah mengepung Daidan, dan kemudian merampas semua senjata dan mesiu yang ada di Daidan.Selesai laporan, maka Latief Hendraningrat hanya dapat menangis seperti anak kecil, dan menyerahkan diri kepada saya untuk dihukum atau diampuni. Nota bene, Latief sebelum itu, bahkan sebelum memberi laporannya telah meminta maaf terlebih dahulu.
Ya apa mau dibuat! Saya pun tak dapat berbuat apa-apa. Saya mencari kesalah pada diri saya sendiri sebelum menunjuk orang lain bersalah. Ini adalah pelajaran Islam. Memang saya ada bersalah, mengapa saya sebagai militer kok ikut-ikutan berpolitik dengan memenuhi panggilan Bung Karno!?
malamnya tanggal (18 Agustus malam menjelang 19 Agustus 1945) itu sengaja saya membisu. Kepada keluargapun saya tidak banyak bicara, sayapun lelah, letih sekali hari itu, lagi pula kesal di hati. Siapa yang harus saya marahi?”
Kasman mengatakan, ada dua kehilangan besar dalam sejarah bangsa ini ketika itu. Pertama, penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Kedua, hilangnya sejumlah senjata dan lain-lainnya yang sangat vital pada waktu itu.
Kasman menyadari dirinya terlalu praktis dan tidak berpikir jauh dalam memandang Piagam Jakarta. Ia hanya terbuai dengan janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat memperbaiki kembali semua itu. Padahal dalam waktu enam bulan, mustahil untuk melakukan sidang perubahan di tengah kondisi yang masih bergolak.
Meski Kasman telah mengambil langkah keliru, namun niat di hatinya sesungguhnya sangat baik, ingin bangsa ini bersatu. “Sayalah yang bertanggung jawab dalam masalalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” kata Kasman sambil menetaskan air mata, seperti diceritakan tokoh Muhammadiyah Lukman Harun, saat Kasman mengulang cerita peristiwa tanggal 18 Agustus itu.
Seolah ingin mengobati rasa bersalah penyesalannya pada peristiwa 18 Agustus 1945, pada sidang di Majelis Konstituante 2 Desember 1957, Kasman tak lagi sekadar menjadi “Singodimejo” tetapi berubah menjadi “Singa di Podium” yang menuntut kembalinya tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menolak Pancasila sebagai dasar negara.
Dalam pidatonya di sidang Konstituante, Kasman menuntut:
Saudara Ketua, satu-satunya tempat yang tepat untuk menetapkan Undang-undang Dasar yang tetap dan untuk menentukan dasar negara yang tentu itu ialah Dewan Kosntituante ini! Justru itulah yang menjadi way out daripada pertempuran sengit di dalam Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia yang telah pula saya singgung dalam pidato saya dalam pandangan umum babak pertama.
Saudara Ketua, saya masih ingat, bagaimana ngototnya almarhum Ki Bagus Hadikusumo Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada waktu itu sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempertahankan agama Islam untuk dimasukkan dalam muqoddimah dan Undang-undang Dasar 1945. Begitu ngotot saudara ketua, sehingga Bung Karno dan Bung Hatta menyuruh Mr T.M Hassan sebagai putera Aceh menyantuni Ki Bagus Hadikusumo guna menentramkannya. Hanya dengan kepastian dan jaminan bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 kita akan bentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-undang Dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo untuk menanti.
Saudara Ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamannya, karena telah berpulang ke rakhmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai dengan wafatnya
Gentlement agreement itu sama sekali tidak bisa dipisahkan daripada “janji” yang telah diikrarkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia kepada kami golongan Islam yang berada dalam panitia tersebut. Di dalam hal ini Dewan Konstituante yang terhormat dapat memanggil Mr. T.M Hassan, Bung Karno dan Bung Hatta sebagai saksi mutlak yang masih hidup guna mempersaksikan kebenaran uraian saya ini.
Saudara Ketua, di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang terhormat ini, Saudara Ketua, dimanakah kami golongan Islam menuntut penunaian “janji” tadi itu? Di mana lagi tempatnya? Apakah Prof. Mr Soehardi mau memaksa kita mengadakan revolusi? Saya persilakan saudara Prof Mr. Soehardi menjawab pertanyaan saya ini secara tegas! Silakan!
Saudara Ketua, jikalau dulu pada tanggal 18 Agustus 1945 kami golongan Islam telah di-fait-a-compli-kan dengan suatu janji dan/atau harapan dengan menantikan waktu 6 bulan, menantikan suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat Undang-undang Dasar yang baru dan yang permanen, Saudara Ketua, janganlah kami golongan Islam di Dewan Konstituante sekarang ini di-fait-a-compli-kan lagi dengan anggapan-anggapan semacam: Undang-undang Dasar Sementara dan Dasar Negara tidak boleh dirubah, tidak boleh diganti, tidak boleh diganggu gugat! Sebab fait-a-compli semacam itu sekali ini, Saudara Ketua, hanya akan memaksa dada meledak!”.
Pidato Kasman di Sidang Konstituante yang sangat berapi-api mengusulkan Islam sebagai dasar negara sungguh sebuah ‘penebusan kesalahan’ yang sangat luar biasa. Dalam pidato-pidatonya di Konstituante itu, Kasman secara detil mengemukakan alasan-alasannya mengapa Islam layak dijadikan dasar negara, dan menantang golongan/kelompok lain untuk mengemukakan alasan-alasannya terhadap Pancasila. Dengan adu argumen ini akan terlihat mana yang benar dan solutif.
Bagi Kasman, Islam adalah sumber mata air yang tak pernah kering dan tak akan ada habisnya untuk digunakan sebagai dasar dari NKRI ini, jika negara ini dilandaskan pada Islam. Sedangkan Pancasila yang dijadikan dasar negara tak lebih seperti “air dalam tempayan”, yang diambil diangsur, digali dari “mata air” atau sumber yang universal itu, yaitu Islam.
Kasman mengatakan, “Ada yang mengira, si penemu—katakan kalau mau, “si penggali,” air dalam tempayan itu adalah sakti mandra guna, dianggapnya hampir-hampir seperti nabi atau lebih daripada itu, dan tidak dapat diganggu gugat. Sedang air dalam tempayan itu, lama kelamaan, secara tidak terasa mungkin, dianggapnya sebagai air yang keramat, ya sebagai supergeloof yang tidak dapat dibahas dengan akal manusia, dan yang tidak boleh didiskusikan lagi di Konstituante sini. Masya Allah!”

Penguatan Peran Partai Politik di Indonesia

Fenomena golput dalam pemilukada saat ini yang semakin lama kian meningkat, penyebabnya bukan hanya dari kurangnya komunikasi yang dilakukan antara calon dan para pemilihnya saja. Bisa jadi karena masyarakat sudah muak dengan calon-calon yang disediakan oleh partai politik, sehingga perlu ada nya penguatan peran partai politik. Serta apa-apa yang dilakukan parpol tidak hanya untuk menang dalam pemilu atau pemilukada, karena perlu penguatan ideologi dan pembasisan di tingkat grassroot. Dengan demikian bukan tidak mungkin akan terbentuk sistem politik yang benar-benar demokratis
Sistem politik yang demokratis mengandung pengertian bagaimana lembaga, prosedur, dan rutinitas demokrasi menyatu dalam kultur berpolitik ditempat tertentu. Politik yang demokratis menjadi sebuah sistem bila kepentingan berbagai aktor dalam jangka panjang adalah untuk menjaga stabilitas aturan main demokratis yang mereka sepakati.
Biasanya, ada dua tahap dari proses politik yang demokratis bergerak menuju sistem demokrasi. Sebagai contoh, dalam waktu yang relatif singkat, lembaga atau prosedur pemilu dibuat dan digunakan di suatu tempat. Kemudian dengan beberapa pemilu, para politisi dan pemilih belajar mengaplikasikan aturan main itu ke dalam konteks sosialnya. Aturan pemilu itu akan menjadi sistem ketika aturan tersebut menyatu dengan kultur politik masyarakat dan aktor-aktor yang ada berupaya menjaga keberlangsungannya.
Dalam banyak kajian yang dilakukan, ada kesamaan pandangan bahwa reformasi politik belum sepenuhnya mampu mengarahkan politik menuju tatanan struktur dan budaya politik yang demokratis. Masih terbentang kesenjangan antara harapan demokratisasi pada sektor politik, dan sektor kehidupan kemasyarakatan secara luas. Kesenjangan tersebut seringkali dimaknai sebagai extremely democratic defisit. Pemilih lebih banyak dimobilisasi daripada terlibat secara substantif. Partai politik disibukkan oleh persiapan untuk menjadi peserta pemilu dan upaya peningkatan kinerja partai politik. Pemilu lebih banyak sebagai upaya sosialisasi partai politik daripada perumusan program dan kebijakan partai untuk mengejawantahkan kedaulatan rakyat. Penguatan partai di Indonesia secara teoretis harus mencakup keseimbangan peran partai pada tiga wajah keorganisasiannya. Istilah wajah organisasi partai untuk menunjukkan tiga konteks yang dihadapi partai.
Wajah organisasi partai yang pertama adalah partai pada akar rumput. Pada level ini partai menghadapi konteks lokal, partai lokal, pendukung, serta masyarakat pemilih. Wajah oganisasi partai yang kedua adalah partai pada level pusat. Pada level ini partai menghadapi konteks nasional, partai-partai lain, dan negara. Wajah organisasi partai yang ketiga adalah partai pada level pemerintahan. Pada level ini partai menghadapi konteks dalam pemerintahan, fraksi-fraksi lain, komisi, dan negara.
Penguatan partai pada wajah pertama adalah melalui penguatan pada akar rumput. Partai politik pada level akar rumput merupakan ujung tombak partai, merekalah yang secara langsung bersentuhan dengan basis sosial partai dan masyarakat secara umum. Pengelolaan partai politik pada akar rumput ini pada akhirnya akan menentukan kuat atau lemahnya dukungan terhadap partai. Persoalan memelihara loyalitas pendukung ini menjadi problema utama bagi partai politik di akar rumput. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa peranan partai di akar rumput saat ini lebih banyak diambil oleh organisasi masyarakat sipil dan media massa. Penguatan juga harus dilakukan pada level partai di pusat. Partai di pusat bukan hanya menjadi payung bagi aktivitas partai pada level pemerintahan, tetapi juga menjadi pendukung aktivitas pekerja partai dan koordinator berbagai kepentingan. Apa pun kebijakan yang diambil harus dikomunikasikan kepada partai pada level akar rumput dan pada partai di pemerintahan. Peran partai politik dalam penyelenggaraan pemerintahan yang diraih oleh partai politik kemudian harus ditransformasikan dalam berbagai kebijakan dengan mengedepankan kepentingan rakyat.

Sehingga apa yang dilakukan oleh partai politik ketika kader-kadernya mengisi pos-pos kekuasaan, lebih berorientasi bagaimana caranya mereka dapat bekerja nyata sebaik mungkin. Bukan sekedar menang pemilu, meraup untung, dan pemilihan lagi.

Dekrit Presiden dan Status Piagam Jakarta

Perdebatan dalam Sidang Majelis Konstituante memang berjalan sengit. Inilah sidang yang memakan waktu cukup lama, dari tahun 1956 sampai dengan 1959. Masing-masing kelompok tanpa tedeng aling-aling mengemukakan gagasan-gagasannya. Mohammad Natsir menyebut suasana saat itu dengan istilah masa-masa konfrontasi dalam suasana toleransi.
Kelompok Islam dimotori oleh M Natsir, Hamka, Kasman Singodimejo, dan lain-lain, serta para tokoh NU, sepakat mengajukan Islam sebagai dasar negara. Kelompok Islam mempersilakan kelompok lain untuk menyampaikan gagasannya secara terbuka, jika memang mereka mempunyai konsep yang jelas soal kenegaraan.
Pada 22 April 1959, Soekarno yang menganggap sidang konstituante terlalu bertele-tele dan alot. Ia kemudian menyampaikan pidato berjudul “Res Publica, Sekali Lagi Res Publica” di Majelis Konstituante yang meminta para anggota majelis untuk segera kembali kepada UUD 1945, seperti yang dirumuskan pada 18 Agustus 1945.
Kemudian pada 2 Juni 1959 majelis mengadakan pemungutuan suara dalam rangka kembali ke UUD 45, dengan dua pilihan yang diajukan: Pertama, kembali kepada UUD 1945 seperti dirumuskan pada 18 Agustus 1945. Kedua, kembali pada UUD 1945 dengan memasukkan anak kalimat Piagam Jakarta ke dalamnya. Voting itu menghasilkan 263 suara setuju kembali ke UUD 1945 seperti dirumuskan tanggal 18 Agustus 1945 dan 203 mendukung UUD 1945 yang di dalamnya berisi tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang mewajibkan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Karena pemungutan suara tidak menghasilkan pemenang mutlak, maka Soekarno melakukan langkah drastis dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran konstituante dan menetapkan berlakunya UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945, yang ia sebut sebagai rangkaian kesatuan dengan konstitusi.
Dekrit dirumuskan di Istana Bogor, pada 4 Juli 1959, dan dibacakan di Istana Merdeka, Jakarta, pada Ahad 5 Juli 1959, pukul 17.00 WIB dengan isi sebagai berikut:
DEKRIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI
ANGKATAN PERANG
TENTANG
KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI
ANGKATAN PERANG
Dengan ini menyatakan dengan khidmat;
Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara;
Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian besar anggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya.
Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan negara proklamasi.
Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.
Maka atas dasar-dasar tersebut di atas
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/
PANGLIMATERTINGGI ANGKATAN PERANG
Menetapkan pembubaran Konstituante;
Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan utusan-utusan daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung sementara, akan diselenggaerakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1959
Atas nama rakyat Indonesia
Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang
Soekarno.



Pendapat Ahli tentang Dekrit Presiden 1959
Profesor A Sanusi, seperti dikutip Endang Saifudin Anshari, mengatakan bahwa Piagam Jakarta yang disebut dalam dekrit 5 Juli 1959 adalah kembalinya gentlement agreement dalam rangka persatuan dan perjuangan nasional. Karena itu posisi Piagam Jakarta senapas dengan konstitusi 1945. Sanusi mengatakan kata “menjiwai” dalam dekrit tersebut berarti memberi jiwa. Sedang memberi jiwa berarti memberi kekuatan. Kata “menjiwai” yang kemudian dirangkaikan dengan kata-kata “Suatu rangkaian kesatuan” menunjukan bahwa Piagam Jakarta merupakan satu rangkaian yang tak terpisah dengan UUD 1945.
Profesor Notonagoro, seorang ahli yang banyak melakukan penelitian tentang Pancasila mengatakan, pengakuan tentang Piagam Jakarta dalam dekrit itu berarti pengakuan akan pengaruhnya dalam UUD 1945, tidak hanya pengaruh terhadap pasal 29, pasal yang harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan.
Dengan demikian, perkataan “Ketuhanan” dalam pembukaan UUD 1945 bisa berarti “Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syariatnya”, sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan atau peraturan pemerintah lain. Dengan syariat Islam, ketetapan pasal 29 ayat 1 tetap berlaku bagi agama lain untuk mendasarkan aktivitas keagamaannya.
KH. Saifuddin Zuhri, dalam sebuah peringatan 18 tahun Piagam Jakarta, mengatakan, “Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka hapuslah segala selisih dan sengketa mengenai kedudukan yang legal daripada Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Piagam yang pernah menjadi pengobar dan bebuka Revolusi Nasional kita itu tegas-tegas mempunyai kedudukan dan peranan ketatanegaraan kita sebagai yang menjiwai UUD dan merupakan rangkaian kesatuan dengannya dengan sendirinya mempunyai pengaruh yang nyata terhadap setiap perundang-undangan negara dan kehidupan ideologi seluruh bangsa”.
Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam bukunya Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta:LP3ES, 1985) mengatakan konsideran dalam dekrit tersebut merupakan kompromi antara pendukung Pancasila dan Islam. Menurut Maarif, konsideran tersebut mempunyai makna konstitusional, meskipun implisit, namun gagasan melaksanakan syariat Islam tidak dimatikan. “Inilah barangkali tafsiran yang akurat dan adil terhadap kaitan Dekrit 5 Juli dengan Piagam Jakarta. Penafsiran yang lain dari ini, disamping tidak punya makna, juga bersifat ahistoris,” jelasnya.
Pendapat serupa ditulis oleh Prof Hazairin, yang mengatakan bahwa Piagam Jakarta yang dikatakan dalam Dekrit 5 Juli 1959 sebagai “menjiwai” dan menjadi “rangkaian kesatuan” bagi UUD 1945 adalah maha penting bagi penafsiran pasal 29 1 UUD 1945, yang tanpa perangkaian tersebut maknanya menjadi kabur dan dapat menimbulkan penafsiran yang beragam dan absurd, karena penjelasan yang resmi mengenai pasal tersebut tidak mencukupi, karena desakan waktu.
Penghapusn tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada 18 Agutus 1945 merupakan toleransi dari umat Islam yang menuntut diberlakukannya syariat Islam bagi pemeluknya. Dekrit Soekarno jelas menegaskan soal keberadaan Piagam Jakarta, yang “menjiwai” dan menjadi “rangkaian kesatuan” konstitusi bangsa ini.
Siapa yang menggagas ide untuk kembali ke konstitusi 1945 dan menyebut soal Piagam Jakarta dalam dekrit presiden tersebut? Ide tersebut ternyata datang dari kalangan militer, yaitu Jenderal AH Nasution. Mengenai hal ini bisa dilihat dalam buku Islam di Mata Para Jenderal, (Jakarta: Penerbit Mizan, 1997, hal 20), yang memuat hasil wawancara dengan Jenderal Nasution.
Keterangan ini dikuatkan oleh pengakuan tokoh NU, KH Saifudin Zuhri yang menceritakan bahwa suatu hari di awal bulan Juli 1959 pada pukul 01.30 dini hari ia ditelepon KH Idham Chalid. Kepada Zuhri, Kiai Idham Chalid memintanya datang ke rumahnya di jalan Jogja 51 dini hari itu juga, terkait dengan rencana kedatangan dua orang pejabat amat penting. Pukul 02.00 lebih sedikit, Zuhri sudah tiba di rumah Kiai Chalid. Tak berapa lama datang dua orang pejabat penting itu, yang tak lain adalah Jenderal A. H Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat/ Menteri Keamanan dan Pertahanan, dan Letkol CPM R. Rusli, Komandan CPM (Corp Polisi Militer) seluruh Indonesia.
Kedua orang pejabat tentara itu meminta saran kepada dua orang tokoh NU tersebut terkait rencana keberangkatan mereka untuk menemui Soekarno yang sedang berobat di Jepang. Dari kalangan tentara saat itu ingin mengusulkan kepada presiden Soekarno agar UUD 1945 diberlakukan kembali lewat Dekrit Presiden. Terkait hal itu, dua orang petinggi militer itu meminta saran kepada tokoh NU untuk memberikan materi apa saja yang akan dimasukan dalam dekrit.
“Isinya terserah pemerintah, tetapi hendaklah memperhatikan suara-suara golongan Islam dalam Konstituante,” kata Kiai Idham Chalid.
“Apa kongkretnya tuntutan golongan Islam itu,” tanya Jenderal Nasution.
“Agar Piagam Jakarta diakui kedudukannya sebagai menjiwai UUD 1945,” jawab Saifudin Zuhri.
“Bagaimana sikap NU apabila presiden menempuh jalan dekrit?” Tanya Nasution.
“Kami tidak bisa katakan, itu hak presiden untuk menempuh jalan menyelamatkan negara,” jawab Kiai Idham Chalid. (Lihat M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik, Jakarta:PT Gramedia Pustakan Utama, 1998, cet. Kedua, hal. 286).
Soal keterlibatan Jenderal Nasution dalam menggagas upaya kembali ke UUD 1945 dengan syarat Piagam Jakarta diakui sebagai bagian dan rangkaian kesatuan dari UUD, dan sikap NU yang menerima usulan tersebut dengan syarat Piagam Jakarta diposisikan seperti itu, juga ditulis oleh pengamat NU, Andree Feillard dalam buku ”NU vis-a-vis Negara.”
Andree Feillard menggambarkan sikap NU terhadap Piagam Jakarta ketika itu seperti berikut: ”Pada tahun 1959, NU bersedia kembali ke Undang-undang Dasar 1945 dengan syarat Piagam Jakarta diakui ”menjiwai” dan ”satu rangkaian” dengan Undang-Undang Dasar tersebut. Meskipun Pengurus Besar NU merasa puas dengan kompromi ini, namun tidaklah demikian halnya dengan beberapa cabang daerah. PBNU terpaksa menyebarkan edaran yang menjelaskan usaha-usaha mendukung Piagam Jakarta. Dan usaha itu tidak berhenti di situ. Pada tahun 1962, Nahdlatul Ulama meminta pemerintah supaya mengupayakan ”seluruh perundang-undangan organik dari UUD secara otomatis dijiwai oleh Piagam Jakarta. Muktamar itu juga mengusulkan pembentukan Mahkamah Agung Islam. Dalam pandangannya, Piagam Jakarta dasar kehidupan hukum positif negara RI.”
Sikap para aktivis NU terhadap Piagam Jakarta, kata Andree Feillard, juga terlihat dalam pawai-pawai di Jakarta ketika memperingati 40 tahun hari lahirnya Nahdlatul Ulama. Dalam pawai-pawai tersebut, tuntutan untuk mengembalikan Piagam Jakarta sebagai bagian dari UUD 1945 bertebaran dalam spanduk yang dibawa di jalan-jalan.
Pada bulan April 1966, para aktivis NU yang berkumpul di Bogor, Jawa Barat, kembali menegaskan dukungannya terhadap Piagam Jakarta sebagai berikut:
1. Karena negara dilandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, yang tidak dapat dipisahkan dari Piagam Jakarta, jalan terbuka untuk mewujudkan cita-cita partai. Sebab bila Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 benar-benar dijalankan dalam masyarakat, hasilnya adalah masyarakat yang sesuai dengan cita-cita partai.
2. Dengan demikian, perjuangan partai harus ditujukan untuk mempertahankan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Piagam Jakarta yang mengilhaminya.
Sikap para aktivis NU dulu dan sekarang tentu saja berbeda. Sejak NU di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid hingga kini, sikap NU terhadap Piagam Jakarta, bahkan secara umum terhadap penegakkan syariat Islam, terkesan anti dan melakukan penentangan yang keras. Apalagi, sejak virus Sepilis (Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme) mewabah di kalangan anak-anak muda NU dan sebagian oknum kiai NU, Piagam Jakarta justru dianggap sebagai ancaman terhadap NKRI dan pluralisme.
Belakangan, para aktivis NU yang tergabung dalam jajaran para pengasong paham Sepilis bahkan menerbitkan sebuah buku propaganda yang sangat tendensius mengadu-domba antar elemen umat Islam dan antar elemen umat Islam dengan bangsa Indonesia umumnya, yang berjudul Ilusi Negara Islam. Buku tersebut, menyerang upaya umat Islam untuk mengembalikan Piagam Jakarta. Bahkan, berkolaborasi dengan kelompok Kristen, para pengasong Sepilis itu juga menyerang Perda-perda Anti Maksiat yang secara konstitusional lahir dari upaya yang legal dan demokratis. Mereka menyebut perda-perda tersebut sebagai upaya menegakkan semangat Piagam Jakarta dan syariat Islam secara umum.
Dari kalimat dekrit yang disampaikan Presiden Soekarno, sampai saat ini, fakta hukum Piagam Jakarta sebenarnya masih berlaku. Status hukum Piagam Jakarta sampai saat ini adalah sesuatu yang ”menjiwai” dan sebagai ”rangkaian kesatuan” dari UUD 1945. Jadi, tinggal kita umat Islam meminta kepada pemerintah untuk mengumumkan kepada masyarakat bahwa Piagam Jakarta adalah hak konstitusional umat Islam yang sampai saat ini masih berlaku.Sebagai sebuah fakta hukum, pemerintah harus memberlakukan Piagam Jakarta tersebut bagi umat Islam!
Bahan Bacaan:
* Ahmad Syafii Maarif, Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan,” Jakarta: LP3ES, 1985
* Andree Feillard, NU Vis-a-Vis Negara:Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna, Yogyakarta:LKiS, 2008, Cet.Kedua
* Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta: Gema Insani Press, 1997, Edisi Ketiga, cet. Pertama
* Gatot Indroyono (ed), Islam di Mata Para Jenderal, Jakarta: Penerbit Mizan, 1997
* Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 70 Tahun, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1982
* Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan: Biografi Dr Anwar Harjono, SH, Jakarta: Penerbit Media Dakwah, 1993
* M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik, Jakarta:PT Gramedia Pustakan Utama, 1998
* M. Natsir, Agama dan negara dalam Perspektif Islam, Jakarta: Media Dakwah, 2001
* Prof. Dr Hazairin, S.H, Demokrasi Pancasila, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1990, cet. Ke-6
* Ridwan Saidi, Status “Piagam Jakarta” Tinjauan Hukum dan Sejarah,”Jakarta: 2007. (Makalah disampaikan dalam pertemuan ulama, Habaib dan tokoh Islam di Jakarta, 22 Mei 2007).
* R.M.A.B Kusuma Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan,Jakarta: Badan Penerbit PH-UI, 2004
* Sidik Kertapati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta: Jajasan Djambatan, 1964, cet. Ke-3
*http://islam-insyafku.blogspot.com/2009/08/oleh-artawijaya-mohammad-natsir.html

MAHASISWA SEJATI

Mahasiswa
Peralihan status dari ‘siswa’ menjadi ‘mahasiswa’ mengundang sejumlah konsekuensi yang tidak sederhana dan kerapkali gagal disadari oleh banyak mahasiswa. Sukses tidaknya perjalanan ‘kemahasiswaan’ seorang mahasiswa sangat ditentukan kesadaran atas pergeseran status tersebut.
Dunia perguruan tinggi sungguh berbeda dengan dunia sekolah menengah (atas dan pertama). Dunia sekolah menengah adalah periode yang dipenuhi suka cita, egoisme, kegundahan khas remaja, dan cita-cita hidup yang masih didominasi oleh ukuran-ukuran material dan pragmatis. Dunia perguruan tinggi berbeda, seolah membukakan segalanya sambil menjelaskan ‘It’s the real life’. Penuh warna dan pertarungan pembentukan jatidiri yang diukur dengan spirit intelektualisme, karya dan akhirnya pengakuan. Hidup tidaklah sesederhana yang dipikirkan sebelumnya, namun tetap menyimpan misteri potensi keindahan dan sukacita yang lebih luas, berwarna, dan mendalam. Semuanya bermula dari kesadaran historis pembentukan dan perjalanan bangsa serta posisi strategis mahasiswa didalamnya.
Mahasiswa selalu menjadi bagian dari perjalanan sebuah bangsa. Roda sejarah demokrasi selalu menyertakan mahasiswa sebagai pelopor, penggerak, bahkan sebagai pengambil keputusan. Hal tersebut telah terjadi di berbagai negara di dunia, baik di Timur maupun di Barat.