Indonesia dengan Malaysia merupakan negara serumpun, Indonesia dan Malaysia juga merupakan
tetangga dekat yang memiliki banyak kesamaan dan juga perbedaan. Bentuk Negara
Indonesia merupakan Negara Kesatuan. Indonesia merupakan sebuah Republik yang
menjalankan pemerintahan presidensial dengan sistem multipartai yang demokratis.
Seperti juga di Negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik di Indonesia
didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif,
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, terdapat
dua asas dalam penyelenggaraan pemerintah daerah yaitu asas desentralisasi dan dekonsentrasi. Dengan demikian Negara
Kesatuan Republik Indonesia walaupun memberikan kewenangan pada pemerintah daerah dalam hal
ini setingkat Provinsi, namun tetap merujuk pada konstitusi negara Republik
Indonesia yaitu UUD 1945 hasil Amandemen dan juga UU 32 Tahun 2004 dimana yang
menjadi kewenangan Pemerintah Daerah dibatasi oleh kewenangan yang langsung
dikerjakan oleh Pemerintah Pusat. Adapun kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat ialah politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, agama, moneter dan fiskal nasional. Hal
tersebut mnenyebabkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak dapat melaksanakan
hukum Islam sebagai hukum formal.
Sedangkan Negara Malaysia adalah monarkhi konstutisional
dan berbentuk Federal yang secara nominal
dikepalai Yang di-Pertuan Agong, yang secara adat disebut dengan Raja. Raja
sekaligus adalah pemimpin agama Islam di Malaysia. Yang di-Pertuan Agong
dipilih dari dan oleh sembilan Sultan Negeri-Negeri
Malaya, untuk
menjabat selama lima tahun secara bergiliran; empat pemimpin negeri lainnya,
yang bergelar Gubernur, tidak turut serta di dalam pemilihan.
Sistem pemerintahan di Malaysia bermodelkan sistem
parlementer. Tetapi di dalam praktiknya, kekuasaan lebih terpusat di eksekutif
daripada di legislatif, dan yudikatif diperlemah oleh tekanan berkelanjutan
dari pemerintah selama zaman Mahathir, kekuasaan yudikatif itu dibagikan antara Pemerintah persekutuan dan
pemerintah negara bagian. Sejak kemerdekaan pada 1957,
Malaysia diperintah oleh koalisi multipartai yang disebut Barisan
Nasional (pernah disebut pula Aliansi).
Pemerintah negara bagian dipimpin oleh Menteri Besar (Kepala Daerah setingkat Gubernur jika di Indonesia) di negeri-negeri Malaya atau Ketua Menteri di negara-negara yang tidak memelihara
monarki lokal, yakni seorang anggota majelis negara bagian dari partai
mayoritas di dalam Dewan Undangan Negeri. Di tiap-tiap negara bagian yang
memelihara monarki lokal, Menteri Besar haruslah seorang Suku
Melayu Muslim, meskipun penguasa ini menjadi subjek
kebijaksanaan para penguasa. Kekuasaan politik di Malaysia amat penting untuk
memperjuangkan suatu isu dan hak. Oleh karena itu kekuasaan memainkan peranan
yang amat penting dalam melakukan perubahan.
Dengan demikian administrasi pemerintahan Malaysia dibagi
dalam tiga struktur: (1) Pemerintahan Pusat (Federal) di Kuala Lumpur; (2) Pemerintahan
Negara Bagian; dan (3) Pemerintahan Setempat (Local Government). Pemerintah Federal memiliki otoritas dalam
beberapa bidang yang meliputi keuangan, luat negeri dan pertahanan, keamanan
dalam negeri, pendidikan dan kesejahteraan sosial. Maka kewenangan dalam hal
Agama diatur oleh Pemerintah Negara Bagian. Hal tersebut menjadikan Negeri
Bagian Kelantan dapat melaksanakan hukum Islam sebagai hukum formal.
Dapat diambil kesimpulan bahwa bentuk negara Indonesia yaitu, Negara Kesatuan dengan mengedepankan asas dekonsentrasi dan desentralisasi sedangkan
bentuk Negara Malaysia
yaitu, Federal. Sehingga hal
tersebut pun berpengaruh terhadap penerapan nilai-nilai Islam di kedua negara
tersebut terutama
dalam wilayah Negara Bagian dan Provinsi di kedua Negara tersebut.
Namun Demikian Malaysia dan Indonesia adalah Negara yang
menempatkan Islam dalam kedudukan penting. Itu dikarenakan Islam adalah agama
yang dianut oleh mayoritas masyarakat kedua Negara tersebut. Muslim di
Indonesia dan Malaysia menganut Mazhab Syafi’i, yang merupakan mazhab moderat
dan paling banyak dianut di Asia Tenggara. Di Malaysia, gerakan-gerakan Islam
relatif homogen dalam menyuarakan tuntutan Islamisasi nilai-nilai dan hukum
Islam di semua wilayah kehidupan. Sebaliknya, di Indonesia ada keragaman
gerakan Islam, yang meliputi perspektif yang beragam tentang cara
mengaktualisasikan Islam dan prinsip-prinsipnya dalam kehidupan publik.
Maka dari itu, Islamisasi di Indonesia menjadi berbeda
dengan Malaysia, karena penerapan Islam secara legal-formal dapat dilihat dari
proses perjuangan umat Islam di masing-masing Negara. Indonesia merupakan
Negara multi etnis yang sejak periode perjuangan kemerdekaan telah ada
polarisasi dua arus kekuatan besar, Islam dan Nasionalisme. Semenjak Negara ini
lahir, penduduk di dalamnya tidak pernah berhenti berdebat tentang seberapa
besar tempat yang herus diberikan kepada Islam dalam konteks politik modern.
Para founding
fathers negeri ini sempat terbelah dalam soal apakah Islam atau lainnya
yang menjadi dasar Negara. Kelompok Islam beranggapan bahwa sudah selayaknya
Islam diberi tempat lebih besar dalam struktur ketatanegaraan baru, karena
Indonesia ditegakkan dan dihuni oleh mayoritas penduduk yang beragama Islam.
Sementara kelompok nasionalis berdalih bahwa Negara yang penduduknya tidak
seratus persen Muslim, hubungan legal-formal antara Islam dan Negara bukan
sebuah keharusan, karena hal itu rentan melahirkan diskriminasi, khususnya bagi
kalangan non-muslim. Menurut argumen ini, sejauh umat islam berperan aktif
dalam proses politik, maka tidak akan ada kebijakan yang tidak dipengaruhi
nilai-nilai Islam. Ketika situasinya semakin genting, Piagam Jakarta, yang di
dalamnya termuat perihal syariat islam, akhirnya dihapuskan.
Maka kemelut ideologi yang menyertai awal lahirnya Negara
baru ini berakhir dengan suatu kompromi yang khas. Indonesia secara
konstitusional bukan Negara islam, namun juga bukan Negara sekuler yang
memandang agama semata-mata sebagai masalah pribadi yang sama sekali terlepas
dari Negara.
Sementara di Malaysia, Islam sebagai agama mayoritas
penduduk ditampung dalam konstitusi dan dinyatakan sebagai agama resmi Negara.
Itu disebabkan karena Malaysia merupakan negeri yang di dalamnya aspirasi Islam
dan kebangsaan mengendap dalam asosiasi kultural-politis yang rapat. Pada tahap
pra-kemerdekaan, Islam dan kebangsaan selalu hadir berdampingan dalam sejarah
politik Melayu.
Berbeda dengan Indonesia, sejarah politik Melayu hampir
tidak mengenal polarisasi antara kekuatan Islamis dan nasionalis. Islam tidak
pernah mendapat tantangan dari kekuatan sekuler, karena ia adalah satu-satunya
sistem simbolik yang paling dominan yang diterima secara luas oleh masyarakat.
Ketika Islam masuk dalam konstitusi sebagai agama resmi Negara, praktis tidak
ada perlawanan dari kelompok-kelompok nasionalis sekuler seperti di Indonesia.
Hal tersebut mengakibatkan di Indonesia Nilai-nilai
Islam tidak secara legal forrmal menjadi hukum di tiap daerah dalam hal ini di
Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Sementara itu di Malaysia karena merupakan
Negara Federal maka daerah dalam hal ini negara bagian memiliki kewenangan khusus untuk membuat konstitusinya sendiri maka dari
itu di Negara Bagian Kelantan dimungkinkan untuk menggunakan Syariat Islam
sebagai hukum formal yang berlaku dibarengi dengan kebijakan-kebijakan yang
dibuatnya.
Gubernur di
Indonesia ataupun Menteri Besar di Malaysia selaku pemimpin pemerintah di dalam
sebuah Provinsi atau
Negara Bagian mempunyai tugas dan fungsi yang sangat dominan dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakatnya. Berhasilnya seorang pemimpin dalam memimpin
anggota yang dipimpinnya terletak pada kemampuannya dalam memandang peran dan
posisinya selaku pemimpin dan memahami perilaku setiap individu-individu yang
terdapat dalam lingkungan kerjanya maupun masyarakatnya.
Akhlak dan kezuhudan ( meninggalkan sesuatu yg bersifat duniawi) Tok Guru Nik
Aziz Nik Mat yang dipengaruhi nilai-nilai keislaman, adalah pelajaran penting
yang bisa ditiru pemimpin Indonesia. Setidaknya, menjadikan Kelantan bisa
menjadi sebuah miniatur negara Islam yang bisa ditiru dan didambakan kaum
muslimin dunia. Begitu juga dengan Ahmad Heryawan yang juga selalu mencoba
menerapkan nilai-nilai yang beliau anut untuk diterapkan didalam setiap
kebijakannya.
Pengaruh dari nilai-nilai yang dianut Tok Guru Nik Aziz
dapat dilihat dari keberhasilan Kelantan dalam penerapan syariat Islam sebagai hukum yang
digunakan tidak hanya berpengaruh, tidak bisa dipisahkan dari peranan besar Tok Guru Nik Abdul Aziz Nik
Mat, seorang pemimpin yang berhasil memadukan perkataan dan perbuatan dalam
dakwah. Dengan sifat zuhud (meninggalkan sesuatu yang bersifat duniawi
dan mementingkan akherat) dan wara (sikap berhati-hati dalam menjalankan
sesuatu) menjadikan dia terpercaya oleh pemilihnya baik yang muslim atau non
muslim untuk menjabat menteri besar Kelantan, ketika itu.
Adapun kebijakan di bidang pendidikan negeri, Kelantan
bisa mengalokasikan dana yang cukup besar, yaitu 27 juta US (majalah al-Mujtama,
edisi, 1264 - 1 sept 1997). Walaupun tidak terlalu besar di Jawa Barat pun dalam
bidang pendidikan ada yang namanya BOS
(Bantuan Operasional Sekolah) Provinsi, hal ini dilakukan untuk menambah jumlah
bantuan yang juga sudah diberikan oleh pemerintah pusat. Selain itu ada hal
lain yang perlu
dicatat, penguasa negeri Kelantan memberlakukan peraturan bagi pekerja
perempuan yang melahirkan berhak dapat cuti kerja selama dua tahun, tentu sedikit berbeda dalam lamanya waktu cuti dengan di Indonesia yang menerapkan kebijakan
3 bulan sebelum melahirkan dan 3
bulan setelah melahirkan anak. Meski
sama-sama memberikan kebijakan cuti hamil namun di Malaysia lebih menghargai
wanita dilihat dari lama waktu cuti yang diberikan ketika hamil.
Di Kelantan semua hiburan malam/night club, perjudian,
minuman keras tidak diijinkan setelah PAS berkuasa. Pada prinsipnya di
Indonesia dalam hal ini di Jawa Barat pun perjudian dan minuman keras di larang
namun sayangnya dalam penerapannya belum konsisten sehingga perjudian dan peredaran minum keras masih banyak ditemukan terjadi di
Jawa Barat.
Hal-hal yang diungkapkan diatas, membuat
masalah kepemimpinan selalu memberikan kesan dan daya tarik yang kuat bagi
setiap orang untuk membahasnya lebih dalam. Tumbuh kembangnya suatu pemerintah
sangat dipengaruhi oleh kemampuan seorang pemimpin dalam mengelola seluruh
unsur yang terdapat dalam pemerintah. Sikap-sikap yang di tunjukkan oleh Tok
Guru Nik Aziz maupun Ahmad Heryawan tidak lepas dari pengaruh orang tua, guru
maupun orang-orang yang dikagumi semenjak kecil hingga dewasa
Bagian
yang paling penting dalam sebuah pemerintah adalah manusia selaku sumber daya
utama. Di dalam penyelenggaraan pemerintahan inilah dibutuhkan kepemimpinan
yang baik guna menggerakkan dan mengarahkan sumber daya manusia tersebut agar
dapat bekerja secara maksimal, meskipun naluri, daya nalar dan tingkat
sensitifitas manusia tersebut berbeda-beda. Memahami perilaku setiap individu
tersebut, merupakan
salah satu cara untuk mengetahui keinginan serta pemikiran masyarakatnya,
sehingga setiap permasalahan yang muncul dalam dalam pemerintahannya dapat
teratasi dengan baik.
Berbicara
masalah kepemimpinan mengarah pada kemampuan individu dalam hal ini adalah
kemampuan dari seorang pemimpin dalam berinteraksi dengan anggota yang
dipimpinnya dengan memahami karakteristik dari masing-masing individu
anggotanya sehingga ia akan mampu menciptakan situasi tertentu,yang diarahkan
untuk mewujudkan keinginan bersama.
Berkembangnya
pemikiran masyarakat menjadi semakin maju dan kritis,serta meningkatnya
kesadaran masyarakat terhadap hak-hak pelayanan yang dimilikinya merupakan
tantangan bagi seorang pemimpin
dan perangkatnya untuk lebih meningkatkan kinerjanya. Menyikapi dari hal
tersebut tentu saja diperlukan
kepemimpinan yang mantap dalam menggerakkan bawahannya khususnya dalam hal
kedisiplinan. Karena dari setiap pemerintah baik besar maupun kecil memerlukan
sikap disiplin dari anggotanya.
Maka akan sangat menarik apabila melihat kepemimpinan Nik
Abdul Aziz bin Bik Mat, sebagai pemimpin atau Menteri Besar Kelantan yang juga
merupakan salah satu kader partai Islam terbesar pula di Malaysia yaitu Partai
Islam se-Malaysia (PAS). Akan lebih menarik lagi apabila dibandingkan
dengan kepemimpinan seorang Ahmad
Heryawan, sebagai pemimpin atau Gubernur Jawa Barat yang merupakan salah satu kader
dari partai Islam yang bisa dibilang terbesar saat ini di Indonesia yaitu
Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Nik Aziz dianggap memiliki kharisma dan akhlak
serta moral yang baik karena terlihat dari bagaimana masyarakat Kelantan
menjadikan beliau sebagai tempat meminta nasihat dan mudah ditemui, sedangkan
Ahmad Heryawan agak sulit ditemui karena kesibukannya, namun Ahmad Heryawan pun
memiliki moral yang baik karena
berasal dari kalangan ustadz tetapi ada yang berpendapat bahwa apa yang
dilakukannya tidak jauh berbeda dengan politisi-politisi lainnya yang juga
mengisi posisi yang sama dengan beliau. Seperti telah disebutkan
sebelumnya kedua orang ini merupakan kader dari partai islam yang berjuang
dalam sistem multipartai di masing-masing negaranya, hal lain yang menarik adalah sejarah berdirinya PAS di
Malaysia maupun PKS di Indonesia, dapat dikatakan terinspirasi oleh dua partai
pendahulunya juga yang berasaskan Islam yaitu Ikhwanul Muslimin dari Mesir dan
Masyumi dari Indonesia. Heryawan maupun Nik Aziz memimpin sebuah daerah yang
sebagian besar masyarakatnya memiliki dan memegang nilai-nilai Islam, bahkan di
Kelantan merupakan sebuah daerah yang menerapkan syariah Islam yang cukup kuat.
Walaupun demikian toleransi terhadap perbedaan di Jawa Barat maupun Kelantan
masih bisa terjaga dengan baik, karena kedua daerah ini walau di dominasi oleh
salah satu nilai namun memiliki penduduk yang heterogen. Di tengah persamaan
latar belakang dari kedua orang tersebut terdapat perbedaan yang fundamental
dalam sistem pemerintahan maupun demokrasi yang terjadi di masing-masing
negara. Malaysia merupakan sebuah negara yang memakai sistem pemerintahan
parlementer sedangkan Indonesia menggunakan sistem pemerintahan presidensiil.
Dengan latar belakang yang dimiliki oleh kedua orang pemimpin Jawa Barat yaitu
Ahmad Heryawan maupun Nik Aziz sebagai
pemimpin Kelantan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Mentri Besar Kelantan memiliki visi
”membangun bersama Islam” yang didasari oleh nilai-nilai yang dianut yaitu
nilai Islam. Selain itu beliau juga memanfaatkan berbagai media untuk
berkomunikasi baik dengan aparat maupun masyarakatnya. Dan beliau pun sangat
terbuka sehingga hubungannya dengan masyarakat menjadi cukup dekat karena
beliau dapat ditemui kapanpun dan dimanapun dengan masyarakatnya. Dalam
perilaku beliau memimpin, untuk membuat aparat maupun masyarakatnya berbuat
baik beliau contohkan dengan keteladanan. Sedangkan Gubernur Jawa Barat
memiliki visi “tercapainya masyarakat Jawa Barat yang mandiri, dinamis dan sejahtera”. Visi tersebut
banyak di pengaruhi oleh nilai moral/agama, hukum dan budaya (sunda). Gubernur
Jawa Barat agak kesulitan dalam berkomunikasi, dan beliau cenderung mengerjakan
tugas atau memberikan tugas hanya berdasarkan pada prosedur yang berlaku dan
lebih banyak memberi himbauan dan instruksi pada bawahannya. Namun demikian
sisi keislamannya pun cukup kuat mewarnai kepemimpinannya. Sama halnya dengan
Mentri Besar Kelantan, Gubernur Jawa Barat pun memberikan keteladanan agar
menambah motivasi aparat maupun masyarakatnya dalam bertindak.
Dengan demikian, kesimpulan yang didapat adalah tipe
kepemimpinan Mentri Besar Kelantan
apabila dimasukkan kedalam tipe kepemimpinan yang dikemukakan Sondang Siagian
maka termasuk tipe yang demokratis. Namun demikian demokratis disini tentu
kental dengan nuansa islami. Jadi bisa dikatakan demokratis yang Islami. Sama
halnya dengan tipe kepemimpinan Gubernur Jawa Barat apabila dimasukkan kedalam
tipe kepemimpinan yang diungkapan Sondang Siagian maka cenderung termasuk tipe
yang demokratis, namun tidak murni demokratis karena ada nuansa islaminya, jadi
bisa dikatakan cenderung demokratis yang Islami sama seperti Mentri Besar
Kelantan.
No comments:
Post a Comment