Semenjak transisi politik yang di mulai pada Mei 1998, telah menimbulkan pergeseran pada ”state formation’ dan ’social formation’, baik pada tinkat lokal maupun tingkat nasional. Pada tingkat nasional, terjadi pergeseran tata hubungan kekuasaan antar institusi politik utama ke arah sistem parlementaianisme, maupun antara pusat dengan daerah-lokalitas. Pergeseran locus politik itu berjalan beriringan dengan menurunnya kredibilitas dari negara.
Penurunan kredibilitas negara terseut diakibatkan oleh 2 hal yaitu, pertama, pola pengaturan politik (rejimitasi) pada masa orde baru yang dianggap melakukan marginalisasi. Kedua, terjadinya fragmentasi yang luas pada semua arena institusi kenegaraan pada era orde Baru akibat akibat terbangunya konstetasi antar aktor politik.
Ditengah krisis kepercayaan atau menurunnya legitimiasi negara, daerah pun melakukan reposisi terhadap tata hubungan daerah dengan pusat. Rumusan reposisi ini menghasilkan konflik antara pusat-daerah hampir dalam segala bidang.
Dalam konteks bali tuntutan untuk memperbaharui tata hubungan lokal dengan pusat, tercermin dari berbagai macam ekspresi yang bersifat pengukuhan identitas Ke-Bali-an. Ini bisa dilihat dalam tiga kategori. Pertama, ia bisa jadi muncul sebagai instrumen dari aktor lokal terhadap berbagai proses sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di bali. Kedua, sebagai invensi dari modernitas dan negara. Ketiga, adanya resistensi dan invensi yang saling menguatkan identitas kebalian.
Negara seperti halnya juga modernitas, juga melakukan politik penyeragaman melalui ”’negaraisasi’ yang menyebabkan marginalisasi desa adat. Marginalisasi desa adat di bali dimulai sejak masuknya kolonial Belanda ke Bali Selatan (1906-1908), menggantikan posisi kerajaan atas desa-desa. Kolonial Belanda menerapkan dua sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan langsung di bawah pemerintahan kolonial dan sistem pemerintahan sendiri oleh raja-raja yang disebut daerah swapraja.
Dengan demikian muncul dualisme desa, yaitu desa adat dan desa dinas.urusan agama dan adat dipegang oleh desa adat, sedangkan urusan administrasi pemerintahan dilakukan oleh desa dinas.
Beberapa assesment terhadap tata hubungan pusat-daerah serta instrumen yang digunakan oleh daerah dalam berhadapan dengan negara menunjukan beberapa keterbatasan. Pertama, adalah tata hubungan pusat-daerah yang belum menunjukan perimbangan relasi, melainkan dapat dikatakan otonopmi setengah hati. Kedua, belum jelasnya tata hubungan negara dengan komunitas. Di Bali, persoalan tata hubungan negara dan komunitas muncul dalam beberapa isu strategis, yaitu :
a. dualisme pemerintah Desa. Ada tiga kelompok pemikiran menyangkut eksistensi desa dinas. Pertama, kelompok pemikiran yang ingin menghapuskan desa dinas karena dianggap sebagai instrumen kepentingan luar desa untuk masuk desa. Solusi yang ditawarkan adalah fungsikedinasan dimasukan ke dalam desa adat. Kedua, pemikiran yang ingin tetap mempertahankan pola hubungan seperti saaat ini. Ketiga, pemikiran yang ingin mempertegas wilayah kewenangan desa adat dan desa dinas.
b. Tata Hubungan kabupaten-desa adat.selama ini tata hubungan kabupaten dan desa adat belum dirumuskan secara jeas.
c. Pengakuan desa adat sebagai entitas hukum.
Ketiga, konflik antar komunitas adat. Muncul fenomena konflik antar desa adat. Tidak hanya soal batas wilayah, tetapi juga soal tanah-tanah adat. Hal ini juga menyangkut sejauhmana intervensi negara bisa dilakukan dalam konflik komunitas. Keempat, persoalan kapasitas dari komunitas untuk menghadapi kekuatan supra lokal (kapitalisme pasar, kelompok keagamaan, entitas politik, penyeragaman budaya). Kelima, instrumen yang digunakan oleh desa adat justru bisa menimbulkan persoalan demokratisasi baru. Atavisme bisa mengarah pada penguatan kembali institusi dan aktor politik masa lalu yang undemocratic (feodalisme atau oligarkis). Indigenisme bisa memancing rasisme yang anti pluralisme maupun multikulturalisme. Keenam, aspek adaptasi dari komunitas terhadap nilai-nilaibaru, seperti birokratisasi, governance, teknokrasi.
No comments:
Post a Comment