Monday, January 11, 2010

Pemikiran Politik M.Natsir

BAB I

PENDAHULUAN


Tak banyak orang yang bisa menggabungkan kefasihan seorang cendekia dengan kearifan politik seorang negarawan. Mohammad Natsir (1908-1993) termasuk di antara sedikit orang itu. Natsir dibesarkan di tengah-tengah keluarga muslim yang taat, Natsir kecil telah berkenalan dengan pendidikan agama dalam lingkungan tradisional yang agamis. Lalu Natsir berkenalan dengan pendidikan barat di tengah lingkungan modern yang dibawa kolonialisme. Dalam diri Natsir pun bertemu hasil pendidikan agama yang memberi dasar-dasar religiusitas dengan hasil pendidikan barat yang mengenalkan nilai-nilai modern. Natsir adalah seorang terpelajar berpendidikan barat yang memahami dengan fasih ajaran-ajaran Islam. Natsir memberi sumbangan besar bagi bangsanya dalam posisinya sebagai cendekiawan-budaya muslim, tokoh politik, dan negarawan secara sekaligus. Adalah mustahil memetakan pemikiran cendekiawan muslim Indonesia dengan mengabaikan pikiran Natsir. Mustahil pula merekontruksi sejarah politik Indonesia dengan menghapus peran Natsir. Pun mustahil membuat daftar negarawan yang mampu bertindak konstitusional, demokratis dan terhormat, yang jumlahnya amat sedikit itu dengan menyingkirkan nama Natsir. Ayahnya yang merupakan seorang ulama terkenal di Indonesia yang membuat lingkungan seperti ini sangat berpengaruh pada pertumbuhan sang putra. Mendapat ijazah perguruan tinggi tarbiyah Bandung, mendapat gelar Doktor Honoris Causal dari Universitas Islam Indonesia (dulu sekolah tinggi Islam), Yogyakarta. Aktif pada dunia pendidikan di Bandung, menjadi pemimpin pada direktorat pendidikan di Jakarta taun 1945, kemudian ia menjadi anggota majelis permusyawaratan rakyat Sumatera. Tahun 1946, ia mendirikan partai MASYUMI (Majelis syura Muslimin Indonesia). Ia juga menjabat menteri Penerangan selama empat tahun. Perjuangan Muhammad Natsir ketika Belanda hendak menjadikan Indonesia negara serikat, Muhammad Natsir menentangnya dan mengajukan pembentukan negara kesatuan republik Indonesia. Usulan ini disetujui 90% anggota Masyumi. Tahun 1950, ia diminta membentuk kabinet sekaligus menjadi perdana menterinya. Tapi belum genap setahun ia dipecat karena bersebrangan dengan presiden Soekarno. Ia tetap memimpin Masyumi dan menjadi anggota parlemen hingga tahun 1957. ia juga menjalin hubungan baik dengan gerakan-gerakan Islam Internasional. Untuk saling tukar pengalaman dan saling mengokohkan persatuan. Tahun 1967, Muhammad Natsir dipilih menjadi Wakil ketua Muktamar Islam Internasional di Pakistan. Kepedulian Muhammad Natsir, sangat serius memperhatikan masalah Palestina, Ia temui tokoh, pemimpin dan dai di negara-negara Arab dan Islam untuk membangkitkan semangat membela Palestina, setelah kekalahan tahun 1967. Ungkapan-ungkapan Muhammad Natsir “Islam tidak terbatas pada aktivitas ritual muslim yang sempit, tapi pedoman hisup bagi insividu, masyarakat dan negara”. Islam menentang kesewenang-wenangan manusia terhadap saudaranya, karena itu kaum muslimin harus berjihad untuk mendapatkan kemerdekaan. Islam menyutujui prinsip-prinsip negara yang benar. Karena itu, kaum muslimin harus mengelola negara yang merdeka berdasarkan nilai-nilai Islam. Tujuan ini tidak terwujud jika kaum muslimin tidak punya keberanian berjihad untuk mendapatkan kemerdekaan, sesuai dengan nilai-nilai yang diserukan Islam.



BAB II

Gagasan Pemikiran Natsir


2. 1 Ideologi Politik

Menurut Natsir orang Islam itu mempunyai falsafah hidup, dapat disimpulkan dalam satu kalimat dalam Al-Quran yang maksudnya : “Tidaklah aku jadikan jin dan manusia itu, melainkan untuk mengabdi kepada-Ku”. (Q.S. Addzariyat : 56). Jadi, seorang Islam hidup di dunia ini adalah dengan cita-cita hendak menjadi seorang hamba Allah SWT dengan arti yang sepenuhnya, mencapai kejayaan dunia dan kemenangan di akhirat. Dunia dan akhirat ini, sekali-kali tidak mungkin dipisahkan oleh seorang muslim dari ideologinya.

Untuk mencapai hal tersebut Tuhan memberikan kita bermacam-macam aturan. Aturan atau cara kita berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita dan aturan atau cara kita berhubungan dengan sesama manusia. Diantara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk itu, terdapat garis-garis besar berupa kaedah yang berkenaan dengan hak dan kewajiban seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang. Yang tidak lain dan tidak bukan, ialah yang dinamakan orang dengan urusan kenegaraan. Banyak orang beranggapan bahwa Islam itu hanyalah semata-mata peribadatan dalam istilah sehari-hari yaitu seperti Salat dan puasa.

Akan tetapi agama dalam pengertian Islam adalah meliputi semua kaedah-kaedah, hudud-hudud (batas-batas) dalam muamalah (pergaulan) dalam masyarakat, menurut garis-garis yang ditetapkan oleh Islam. Semua aturan-aturan dalam garis besarnya sudah terhimpun dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Tetapi Quran dan Sunnah nabi itu tidak bertangan dan berkaki sendiri untuk menjaga suaya peraturan-peraturannya dijalankan manusia. Yang dimaksud dengan yang tidak bertangan dan berkaki sendiri disini ialah perlunya negara sebagai alat atau instrumen untuk menjalankan perayuran-perauturan agama.

Disini juga jelas terlihat bahwa agama khususnya Islam bukanlah sebuah bagian dari negara tetapi negara yang dijadikan instrumen untuk implementasi syariah Islam. Untuk menjaga supaya aturan-aturan dan patokan-patoka itu dapat berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya, perlu dan tidak boleh tidak harus ada sesuatu kekuatan dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara, sebagaimana telah diperingatkan Rasullulah SAW kepada kaum muslimin : “Sesungguhnya Allah memegang dengan kekuasaan penguasa, yang tidak dapat dipelihara dan dipegang oleh Quran itu”. (H.R Ibnu Katsir).

Menurut Natsir, bila kita membicarakan pemisahan agama dan negara sering kali dikaitkan dengan negara Turki, yang berpikiran : “Dahulu di Turki ada persatuan agama dengan negara. dibuktikan dengan adanya khalifah, yang juga menjadi Amirul Mukminin. Akan tetapi waktu itu Turki merupakan negara yang terbelakang, tidak modern, negeri “sakit”, negri “bobrok”. Sekarang di Turki agama sudah dipisahklan dari negara, maka dapat dilihat Turki menjadi negara maju dan modern. Ini membuktikan bahwa politik Kemal Pasha benar”.

Jika diterangkan sebenarnya suatu negri yang pemerintahannya tidak memperdulikan kepentingan rakyat, membiarkan rakyat bodoh, yang tidak memajukan negerinya sehingga tertinggal dengan negara lain dan yang pemimpinnya menindas rakyat dengan memakai “Islam” sebagai kedok atau memakai ibadah-ibadah, sedangkan pemimpin-pemimpin pemerintahan itu penuh dengan segala macam maksiat dan membiarkan Takhayul merajalela sebagaimana keadaan pemerintahan Turki di zaman Sultan-sultan yang akhir-akhir, maka yang semacam itu bukanlah pemerintahan Islam.islam tidak menyuruh dan tidak membiarkan orang menyerahkan sesuatu urusan kepada orang yang bukan ahlinya.

Islam menyatakan bahwa akan datang kerusakan dan bencana jika sebuah urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, Islam pun tidak menyuruh atau membiarkan pemerintahan negeri diserahkan kepada orang-orang yang penuh dengan Kuraft, Takhayul dan maksiat. Dalam Quran menyatakan sesungguhnya tidak ada berhak yang menjadi pemimpin kamu, melainkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang beriman,yang mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka itu tunduk ( taat) pada perintah-perintah Allah”. (Q.S. Al-Maidah : 55).

Maka sekarang jika ada pemerintahan yang zalim yang bobrok seperti yang ada di Turki pada zaman Bani Usman, yang demikian itu bukanlah hendak kita jadikan contoh, bila kita berkata bahwa agama dan negara harus bersatu. Pemerintahan yang semacam itu tidaklah akan dapat diperbaiki “dengan memisahkan agama” seperti dikatakan Ir. Soekarno, sebab memang “agama”, sudah lama terpisah dari negara yang semacam itu. Yang semestinya dipisahkan dari negara tersebut bukanlah agamanya melainkan hanyalah kejahatan, maksiat, kemusyrikan dan kesombongan yang telah merajalela. Jika ada orang mengatakan seperti Soekarno tak ada ijma ulama tentang agama dan negara harus bersatu atau tidak sekuler dibantah oleh Natsir bila kita bermain tentang ijma maka tidak ada pula ijma ulama yang mengatakan bahwa agama dan negara tidak harus bersatu.

2. 2 Sistem Politik

Pengertian demokrasi dalam Islam memberikan hak kepada rakyat supaya mengkritik, menegur, membetulkan pemerintahan yang dzalim. Apabila tidak cukup dengan kritik dan teguran, Islam memberikan hak kepada rakyat untuk menghilangkan keDzaliman itu dengan kekuatan atau kekerasan jika itu perlu. Pernah orang bertanya kepada Rasullulah : “Apakah yang sebaik-baik jihad?” dijawab oleh Rasullulah SAW : “mengatakan barang yang hak terhadap sultan yang dzalim”. (H.R. Nasai). Raasullulah memperingatkan : “apabila orang melihat sesorang melihat kedzaliman akan tetapi mereka biarkan, tidak mereka betulkan, azabnya jatuh kepada mereka semua, baik si dzalim maupun orang-orang yang membiarkan berlakunya kedzaliman itu” (H.R Abu Daud dan Turmudzi).

Natsir pernah membantah pernyataan Soekarno tentang alasan untuk memisahkan negara dengan agama. Menurut Soekarno “Disuatu negara demokrasi yang ada dewan perwakilan rakyatnya, yang sebenarnya mewakili rakyat, toh dapat ‘dimasukkan’ segala macam keagamaannya dalam tiap-tiap tindakan negara dan ke dalam tiap-tiap wet yang dipakai di dalam negara itu walaupun disitu agama dipisahkan dari negara, asal sebagian besar dari anggota-anggota parlemen, politiknya adalah politik agama, maka semua putusan-putusan parlemen itu dengan sendirinya akan berisi fatwa-fatwa agama pula. Asal sebagian besar dari anggota-anggota parlemen itu politiknya adalah politik Islam, maka tidak akan berjalanlah satu porstel jua pun yang bersifat Islam”.

Sedangkan menurut Natsir sendiri, “kalau kebetulan sebagian besar dari anggota parlemen itu yakni yang tisak menghargai peraturan-peraturan agama sepeser pun apakah yang akan terjadi? Da bagaimana pula sebagaian besar, atau aeratus persen dari anggota-anggota parlemen itu politiknya bukan politik Islam walaupun bibirnya mengatakan beragama “Islam” juga (Islam KTP), apa pula yang akan terjadi?. Sekali lagi perlu diulang bahwa menurut pandangan kita kaum muslimin agama Islam bukanlah semata-mata suatu tambahan atau suatu ekstra yang harus dimasukkan kepada negara, tetapi menurut pandangan kaum muslim negara itu adalah menjadi alat dan perkakas bagi berlakunya hukum-hukum Islam.

Disini terletaknya perselisihan pandangan seorang Islam dengan pandangan orang yang bukan Islam”. Islam bersifat demokratis dengan arti bahwa Islam itu anti Istibdad, anti absolutisme, anti sewenang-wenang. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa dalam pemerintahan Islam itu semua urusan diserahkan kepada keputusan musyawarah majelis Syura.

Dalam parlemen negara Islam tidaklah akan dipermusyawaratan terlebih dahulu, apakah yang harus menjadi dasar bagi pemerintahan, dan tidaklah mesti ditunggu keputusan parlemen terlebih dahulu, ataun membahas masalah yang sudah jelas didalam Al-Quran dan Sunnah, ini semua bukanlah hak musyawarah parlemen. Yang dibicarakan dalam parlemen cara-cara untuk menjalankan semua hukum itu. Adapun prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang sudah tetap tidak boleh dibongkar-bongkar lagi dan tidak perlu terlebih dahulu menjalankan mekanisme musyawarah apalagi sistem voting. Sistem kenegaraan Islam tidak menggantungkan semua urusan kepada demokrasi.

Pikiran Natsir tentang demokrasi mendasarkan diri pada penafsiran Natsir tentang Ijtihad, Syura, dan Ijma. Melalui Ijtihad, Islam dihadapkan dengan dinamika perubahan masyarakat. Sementara Ijma memandu umat Islam untuk mensejajarkan langkahnya seuai kesepakatan mayoritas kaum muslimin di suatu tempat dan pada suatu zaman tentang masalah-masalah bersama senafas dengan Al-Quran dan Sunnah Nabi. Tatkala konsep Ijtihad dan Ijma itu dihubungkan oleh Natsir dengan konsep syura, sampailah Natsir pada sebuah model perwujudan demokrasi. Sebuah model parlementer yang memberi ruang besar bagi parlemen untuk mengemban amanah rakyat. Lebih lanjut, Natsir menggambarkan demokrasi sebagai sebuah pemerintahan yang mencerminkan terakomodasinya suara mayoritas dalam perumusan kebijakan dan keputusan politik. Natsir membatasi politik parlemen itu dengan batas-batas (hudud) yang telah ditetapkan Tuhan.

Natsir menamakan demokrasi ala Islam ini sebagai Theistic Democracy (demokrasi berdasar pada nilai-nilai Ketuhanan). Gagasan Natsir tentang demokrasi adalah khas gagasan Islam modernis. Tetapi jika orang lain ingin mengatakan bahwa yang semacam ini bukan demokratis tergantung pandangan masing-masing pribadi. Tetapi perlu diketahu Islam adalah uatu pengertian, suatu paham, yang memunyai sifat-sifat sendiri. Menurut Natsir, Islam tidak usah “demokrasi” seratus persen bukan pula otokrasi seratus persen, Islam itu…ya “ Islam”.

Ini berarti bahwa Islam itu tidak seperti demokrasi yang diajarkan barat tetapi memiliki prinsip-prinsip dasar demokrasi dan Islam pun menentang absolutisme dalam otokrasi. Pemerintahan Islam itu sesuai dengan apa yang ada dan telah tercantum dalam Al-Quran dan Haddist.

Muhammad Natsir adalah sorang politikus piawai. Saat menerjuni medan perang, ia menjadi panglima yang gagah berani, dan saat berdebat dengan musuh, ia tampil sebagai pakar ilmu dan dakwah. Muhammad Natsir menentang serangan membabi buta yang dilancarkan para misionaris Kristen, antek-antek penjajah dan para kaki tangan Barat maupun Timur, dengan menerbitkan majalah Pembela Islam. Ia juga menyerukan Islam sebagai titik tolak kemerdekaan dan kedaulatan, pada saat Soekarno dan antek-anteknya menyerukan nasionalisme Indonesia sebagai titik tolak kemerdekaan. Saat itu Soekarno bersekutu dengan Komunis yang terhimpun dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk melawan Muhammad Natsir dan Partai Masyumi. Pertarungan ini berlangsung hingga tahun 1961, Soekarno membubarkan Partai Masyumi dan menahan pemimpinnya, terutama Muhmmad Natsir. Namun perlawan kaum muslimin Indonesia tidak padam, terus berlanjut hingga terjadi revolusi militer yang berhasil menggulingkan Soekarno pada tahun 1965.


2.3 Sistem Pemerintahan

Dalam islam tidak kenal “ kepala agama” seperti paus atau Patriarch. Islam hanya mengenal satu “kepala agama”, ialah Muhamad rasulullah SAW. Beliau sudah wafat dan tak ada gantinya lagi untuk selama-lamanya.”kepala agama” yang bernama Muhammad ini meninggalkan satu sistem yang bernama islam, yang harus dijalankan oleh kaum Muslimin, dan harus di pelihara dan di jagasupaya dijalankan oleh “kepala-krpala kenegaraan (bergelar Raja, Khalifah, Presiden dan lainnya) yang memegang kekuasaan dalam kenegaraan kaum muslimin, sahabat-sahabat nabi yang pernah memegang kekuasaan Negara sesudah Rasulullah SAW. Seperti Abubakar, Umar, Usman, Ali tidaklah menjadi merangkap “kepala Agama”.

Mereka itu hanyalah “Kepala Keduniaan”,yang menjadikan pemrintahannya menurut aturan yang telah ditinggalkan oleh “Kepala Agama”. Bilaman dalam suatu negeri yang kebetulan Kepala Negaranya beragam Islam dan disitu terdapat pemerintahan yang bersifat dualistis, dan terdapat konflik antara yang keduniaan dan keagamaan atau antara kemauan masyarakat dengan kemauan agama, maka yang demikian bukanlah terbit dari ajaran islam.bila tejadi pertentangan atau konflik semacam itu sebenarnya kaum muslim wajib bersikap : bila betul-betul hukum dan kehendak manusia sudah bertentangan dengan hukum-hukum dan kehendak Ilahi, hukum dan kehendak Ilahi itulah yang harus berdiri, hukum dan kehendak manusia mestilah gugur! Atau dalam istilah barat itu leg superior derogut leg imperior yan artinya undang yang lebih tinggi mengalahkan undang-undang yang lebih rendah.

Dalam sistem pemerintahan ini jelas terlihat ada sebuah check and balance system, karena kepala kenegaraan dapat berkuasa menetukan setiap kebijakan dalam negerinya namun ada majelis syura yang di dalamnya terdapat orang-orang yang ahli dalam bidangnya masing-masing untuk membahas masalah yang terjadi dan belum di atur dalam Qur’an maupun Hadist.dan hubungan pemerintah dengan rakyat pun akan terjalin harmonis karena sudah otomatis menjadi pekerjaan kepala negara untuk mensejahterakan rakyat, bahkan rakyat dan melakukan kritik terhadap pemerintahan bila pemerintahan.

Banyak hal yang di lakukan natsir pada masa demokrasi parlementer natsir menjadi perdana mentri yang pertama,banyak kebijakan yang di buat oleh nya seperti menyuksekan pemilu tahun 1955, mendewasakan rakyat dalam berpolitik.

“Pilihlah salah satu dari dua jalan, Islam atau Atheis.” adalah kutipan pidato Muhammad Natsir di Parlemen Indonesia di masa kemerdekaan. Muhammad Natsir adalah tokoh Islam kontemporer dunia Islam, mujahid dan politikus piawai. Mencurahkan segenap kemampuan untuk menjadikan Islam sebagai sistem pemerintahan Indonesia, dan melawan orang-orang yang menghalangi tegaknya Islam.Hingga riwayat hidupnya tercatat dalam buku “Mereka yang telah pergi, Tokoh-tokoh Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer”.


2.4 Konsep Kenegaraan

M. Natsir dalam pemikirannya memiliki konsep kenegaraan yang beupa negara Islam. Dimana negara menjadi instrumen atau alat untuk menerapkan syariat islam. Karena pada hakikatnya manusia itu di ciptakan untuk karena telah jeas di dalam aturan-aturan yang di berikan Allah SWT, telah mengatur hubungan antara manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan. Bagi M. Natsir sebuah negara itu harus di pimpin oleh orang yang berasal dari kaum muslimin karena dalam islam tidak mungkin dipimpin oleh orang yang bukan berasal dari kaumnya. Jelas bahwa M. Natsir bukanlah pendukung sekularisme dalam negara yaitu memisahkan anatara agama dengan negara. Banyak kritikannya terhadap konsep negara yang dibuat oleh turki muda. Natsir pernah berujar bahwa “Islam tidak terbatas pada aktivitas ritual muslim yang sempit, tapi pedoman hidup bagi individu, masyarakat dan negara. Islam menentang kesewenang-wenangan manusia terhadap saudaranya. karena itu, kaum muslimin harus berjihad untuk mendapatkan kemerdekaan. Islam menyetujui prinsip-prinsip negara yang benar. Karena itu, kaum muslimin harus mengelola negara yang merdeka berdasarkan nilai-nilai Islam. Tujuan ini tidak terwujud jika kaum muslimin tidak punya keberanian berjihad untuk mendpatkan kemerdekaan, sesuai dengan nilai-nilai yang diserukan Islam. Mereka juga harus serius membentuk kader dari kalangan pemuda muslim yang terpelajar.”


2.5 Keterpengaruhan Ideologi

Seperti kita ketahui bahwa Natsir merupakan seorang ang lahir di tengah-tengah keluarga yang memeluk Islam dengan kuat. Maka itu pun menjadi pengaruh untuk ideologinya kedepan. Natsir banyak dilatih dalam ilmu agama dan guru-guru Natsir seperti ahmad husain, HOS Tjokroaminoto pulalah yang membentuk dan mempengaruhi ideologi nya yaitu Islam. Bagi Natsir sudah jelas bahwa dalam setiap langkah dan setiap perbuatnnya di dasarkan untuk beribadah kepada Allah SWT. Ada beberapa tokoh islam yang menjadi tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam dirinya dan mempengaruhi perjuangannya, yaitu: “Haji Syaikh Muhammad Amin Al-Husaini, Imam Asy Syahid Hasan Al-Banna dnImam Al-Hudhaibi. Sedang tokoh tokoh Indonesia adalah Syaikh Agus Salim dan Syaikh Ahmad Surkati.”


2.6 Bentuk Negara

Jika timbul pertanyaan bahwa pada suatu negara seperti Indonesia , kalau segala sesuatu urusan di atur menurut kemauan islam, sedangkan penduduknya ada bermacam-macam Agama?maka di jawab apabila kekuasaan ada dalam tangan orang islam , orang yang beragama lain tidak perlu khawati. Karena dalam satu negara yang berdasar islam,orang-orang yang bukan islam mendapatkan kemerdekaan beragama dengan luas. Bahakan mungkin lebih luas lagi dari yang di berikan negara-negara Eropa Terhadap agama-agama yang ada disana.dan tidak akan memberikan kerugian apapun bagi penduduk yang bukan beragama islam apabila dalam negeri itu berlaku hukum-hukum islam dalam urusan muamalah. Karena peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan hal-hal semacam itu. Dengan berlakunya undang-undang islam, agam mereka tidak akan terganggu,tidak akan rusak dan tidak akan berkurang sedikit pun.

Tetapi sebaliknya, orang yang tidak mau mendasarkan Negara kepada hukum-hukum islam dengan alasan tidak mau menyakiti hati orang yang bukan beragama islam, sebenarnya (secara sadar maupun tidak) berlaku dzalim kepada orang islam sendiri yang jumlahnya lebih dari 80 persen jumlah penduduk yang ada di indonesia. Tindakan seperti itu mengugurkan sebagian besar dari peraturan-peraturan Agama Islam. Ini berarti merusakan hak-hak mayoritas, bukan lantaran hak-hak itu berlawanan dengan hak-hak kepentingan minoritas, tapi semata takut,apabila si minorotas tidak suka.

Ketika Belanda hendak menjadikan Indonesia negera serikat, Muhammad Natsir menentangnya dan mengajukan pembentukan negara Kesatuan Republik Indonesia. Usulan ini disetujui 90% anggota Masyumi. Tahun 1950, ia diminta membentuk kabinet sekaligus menjadi perdana Menterinya. Tapi belum genap setahun ia dipecat karena bersebrangan dengan presiden Soekarno. Ia tetap memimpin Masyumi dan menjadi angota parlemen hingga tahun 1957.


BAB III

KESIMPULAN


Bagi Natsir agama Islam berlainan dengan agama lainnya,karena di dalam Islam mempunyai aturan yang beberapa bagiannya berkenaan dengan hukum kenegaraan dan hukum pidana, yang mana semuanya tak dapat dipisahkan dari Agama Islam itu sendiri.

Orang yang tidak mau kalau Negara menjalankan semua peraturan-peraturan Agama Ialam yang berhubungan dengan hal-hal yang tersebut, dengan mengatakan bahwa Negara harus berdiri diatas semua Agama atau dengan alasan bahwa kita perlu “demokratis”.pada hakikatnya bukan memisahakan Agama dari Negara, melainkan melemparkan sebagian dari hukum –hukum islam yang berkenaan dengan hal-hal kenegaraan dan hukum muamalah.

Islam memang bersifat demokratis tetapi bukan berarti bahwa semua hal (termasuk juga hukum-hukmnya yang sudah tetap) harus diatur ulang pula lebih dahulu dalam parlemen, dimana nasibnya di gantungkan kepada sistem voting.

Orang berkata, bahwa kita kaum muslimin haruslah bergerak dan berjuang dengan sekuat tenaga, agar mendapatkan suara yang terbanyak dalam parlemen dan dengan begitu mungkin bisa memasukan Hukum-hukum islam menjadi undang-undang Negara. Akan tetapi semata-mata hanya suatu nasihat yang harus kita hadapkan kepada kaum muslimin yang berada dibawah pemerintah yang kekuasaanya dipegang oleh orang-orang bukan islam. Yang menjsdi pokok pembicaraan , ialah bagaimanaka kaedah, apakah prinsip-prindipnya orang islam itu dalam mengatur negara, bilamana kekuasaan negara sudah dapat di tangan mereka. Ini perlu di perhatikan agar umat tidak tertipu.

Bagi kaum kita yang berhakim kepada firman Allah dan sunnah Rasul dalam masalah yang bersangkutan dengan agama Islam, cukup kiranya kalau kita persilahkan membuka Kitab Allah sendiri, dimana boleh dikatakan berteberan Firman Ilahi yang dengan tgas dan nyata serta mudah di pahami, yang mendudukan perkara ini pada tempatnya dengan tidak usah berpanjang falsafah mengenai sekuler atau tidak sekuler, dinamis atau tidak dinamis, Allah berfirman : “sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab dengan Haq, supaya engkau menghukum (dengan kitab itu) diantara manusia, dengan cara yang kami tunjukan kepadamu”. (Q.S> An-Nisa : 105). Yang bisa menghukum diantara manusia, ialah yang memegang kekuasaan atau penguasa. “dan jatuhkanlah hukum hukum diantara mereka dengan (berdasar kepada) apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah turutkan hawa nafsu mereka. (Q.S> Al-Maidah : 49). Kalau mereka yang memegang kekuasaan, dan yang berhak meberi hukum, antara penduduk negeri tidak mengambil Undang-undang ilahi sebagai dasar, tetapi menurut hawa zaman dan kedinamisan rasionalisme yang ta terbatas,maka dia itu bukanlah “memisahkan” Agama dari Negara tetapi melemparkan hukum-hukum Agama yang bersangkutan.

No comments: