suasana rapat pembahasan piagam jakarta |
Mohammad Natsir menyebut
Piagam Jakarta sebagai tonggak sejarah bagi tercapainya cita-cita Islam di bumi
Indonesia. Sayang, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan,
ikhtiar umat Islam Indonesia untuk menegakkan syariat Islam lewat Piagam Jakarta
yang sebelumnya disepakati oleh tokoh-tokoh nasional, ditelikung di tengah
jalan.
Natsir menyebut penghapusan
tersebut sebagai ultimatum kelompok Kristen, yang tidak saja ditujukan kepada
umat Islam, tetapi juga kepada bangsa Indonesia yang baru 24 jam
diproklamirkan. Terhadap peristiwa pahit itu, Natsir mengatakan,” insya Allah
umat Islam tidak akan lupa!”
Jakarta, Jalan Pegangsaan
65, 17 Agustus 1945. Para aktivis dan pejuang kemerdekaan berkumpul. Naskah
proklamasi yang masih berbentuk tulisan tangan siap dibacakan. Soekarno berdiri
di depan mikropon didampingi Mohammad Hatta, membacakan teks proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia. Rakyat menyambut gegap gempita. Menyemut di
jalan-jalan sambil meneriakkan secara serempak satu kata: Merdeka!
Tetapi tahukah Anda? Ada
peristiwa penting yang tidak diketahui oleh sebagian orang, terutama generasi
bangsa saat ini, bahwa detik-detik jelang pembacaan naskah proklamasi, upacara
dimulai dengan pembacaan UUD 1945 yang berlandaskan Piagam Jakarta.
Pembacaan itu dilakukan oleh
Dr Moewardi yang kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Ketua Panitia
Suwirjo, kemudian setelah diawali pidato singkat, barulah Soekarno membacakan
naskah proklamasi. Keterangan ini dikutip oleh Ridwan Saidi dari buku Sekitar
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditulis oleh Sidik Kertapati.
Dan tahukah Anda? Ketika
proklamasi dibacakan, tak ada satupun tokoh Kristen yang hadir dalam peristiwa
bersejarah itu. Seharusnya, dalam suasana kemerdekaan dan untuk menunjukkan
rasa persatuan, mereka hadir dalam acara tersebut.
Ada dugaan, ketidakhadiran
kelompok Kristen itu dikarenakan keberatan mereka terhadap Piagam Jakarta yang
diduga bakal dibacakan Soekarno dalam proklamasi kemerdekaan.
Sementara tokoh-tokoh yang
hadir ketika itu adalah: Mohammad Hatta, KH A Wahid Hasyim, Abikoesno
Tjokrosoejoso, Soekarjo Wirjopranoto, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Dr Radjiman
Wedyoningrat, Soewirjo, Ny. Fatmawati, Ny. SK Trimurti, Abdul Kadir (PETA),
Daan Jahja (PETA), Latif Hendraningrat (PETA), Dr. Sutjipto (PETA), Kemal Idris
(PETA), Arifin Abdurrahman (PETA), Singgih (PETA), Dr Moewardi, Asmara Hadi,
Soediro Soehoed Sastrokoesoemo, Djohar Noer, Soepeno, Soeroto (Pers), S.F
Mendoer (Pers), Sjahrudin (Pers). Kenapa kalangan Kristen tak menghadiri acara
penting dan sangat bersejarah itu? Belakangan diketahui, para aktivis Kristen
itu sibuk kasak-kusuk melakukan konsolidasi dan lobi-lobi politik untuk meminta
penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Kesimpulan ini didasarkan
pada pernyataan Soekarno yang mengatakan bahwa malam hari usai proklamasi
kemerdekaan RI, ia mendapat telepon dari sekelompok mahasiswa Prapatan 10, yang
mengatakan bahwa pada siang hari pukul 12.00 WIB (tanggal 17 Agustus), tiga
orang anggota PPKI asal Indonesia Timur, Dr Sam Ratulangi, Latuharhary, dan I
Gusti Ketut Pudja mendatangi asrama mereka dengan ditemani dua orang aktivis.
Kepada mahasiswa, mereka
keberatan dengan isi Piagam Jakarta. Kalimat dalam Piagam Jakarta, bagi mereka
sangat menusuk perasaan golongan Kristen. Latuharhary sengaja mengajak Dr Sam
Ratulangi, I Gusti Ktut Pudja, dan dua orang aktivis asal Kalimantan Timur,
agar seolah-olah suara mereka mewakili masyarakat Indonesia wilayah Timur.
Mereka juga sengaja melempar
isu ini ke kelompok mahasiswa yang memang mempunyai kekuatan menekan, dan
berharap isu ini juga menjadi tanggungjawab mahasiswa. Mahasiswa lalu
menghubungi Hatta, yang kemudian mengundang para mahasiswa untuk datang
menemuinya pukul 17.00 WIB. Hadir dalam pertemuan itu aktivis Prapatan 10, Piet
Mamahit, dan Imam Slamet.
Setelah berdialog, Hatta
kemudian menyetujui usul perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Setelah
dari Hatta, malam itu juga para mahasiswa menelepon Soekarno untuk menyatakan
keberatan dari tokoh Kristen Indonesia Timur. Singkat kata, keesokan harinya
Soekarno dan Hatta mengadakan rapat dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia di Pejambon Jakarta. Agenda sidang dibatasi hanya membahas perubahan
penting dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 45. Rapat yang diagendakan
berlangsung pukul 09.30 WIB mundur menjadi pukul 11.30 WIB. Belakangan
diketahui, mulur-nya rapat tersebut disebabkan terjadinya perdebatan yang
sengit dalam lobi-lobi yang dilakukan untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam
Jakarta. Lobi-lobi yang digagas Hatta terjadi antara Kasman Singodimejo, Ki
Bagus Hadikusumo, Teuku Muhammad Hassan, dan KH A Wahid Hasyim. Pertemuan
dengan Hatta berlangsung sengit dan tegang. Saking sengit dan tegangnya
pertemuan itu, sampai-sampai Soekarno memilih tak melibatkan diri dalam lobi
tersebut.
Soekarno terkesan menghindar
dan canggung dengan kegigihan Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Muhammadiyah
ketika itu, dalam mempertahankan seluruh kesepakatan Piagam Jakarta. Soekarno
kemudian hanya mengirim seorang utusan untuk turut dalam lobi yang bernama
Teuku Muhammad Hassan.
Seperti dikutip dalam buku
R.M.A.B Kusuma Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen
Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan, Ki Bagus Hadikusumo
bahkan lebih tegas lagi meminta kata-kata ”bagi pemeluk-pemeluknya” ditiadakan,
sehingga berbunyi:”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.” Artinya, dalam
pandangan Ki Bagus, syariat Islam harus berlaku secara umum di Indonesia.
Lobi yang berlangsung sengit
tak juga meluluhkan pendirian Ki Bagus Hadikusumo. Lobi-lobi dan bujukan dari
utusan Soekarno Teuku Muhammad Hassan dan tokoh sekaliber KH A Wahid Hasyim pun
tak mampu mengubah pendiriannya. Di sinilah peran Kasman Singodimejo yang
sesama orang Muhammadiyah, melakukan pendekatan secara personal dengan Ki
Bagus.
Dalam memoirnya yang
berjudul Hidup Adalah Perjuangan, Kasman menceritakan aksinya melobi Ki Bagus.
Dengan bahasa Jawa yang sangat halus, ia mengatakan kepada Ki Bagus:
“Kiai,
kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus
cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita bernegara, dan
masih harus ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan
perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, terutama
pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?! Kiai, sekarang ini bangsa
Indonesia kejepit di antara yang tongol-tongol dan yang tingil-tingil. Yang
tongol-tongol ialah balatentara Dai Nippon yang masih berada di bumi Indonesia
dengan persenjataan modern. Adapun yang tingil-tingil (yang mau masuk kembali
ke Indonesia, pen) adalah sekutu termasuk di dalamnya Belanda, yaitu dengan
persenjataan yang modern juga. Jika kita cekcok, kita pasti akan konyol. Kiai,
di dalam rancangan Undang-undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini
tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang Dasar yang
sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah rancangan Undang-undang Dasar
darurat. Belum ada waktu untuk membikin yang sempurna atau memuaskan semua
pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit! Kiai, tidakkah bijaksanaan jikalau
kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni
menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni
tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur,
tenang tenteram, diridhai Allah SWT.”
(Hidup Adalah Perjuangan, 75
Tahun Kasman Singodimejo, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1982)
Kepada Ki Bagus Kasman juga
menjelaskan perubahan yang diusulkan oleh Hatta, bahwa kata ”Ketuhanan”
ditambah dengan ”Ketuhanan Yang Maha Esa.” KH A Wahid Hasyim dan Teuku Muhammad
Hassan yang ikut dalam lobi itu menganggap Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Allah
SWT, bukan yang lainnya.Kasman menjelaskan, Ketuhanan Yang Maha Esa menentukan
arti Ketuhanan dalam Pancasila.”Sekali lagi bukan Ketuhanan sembarang
Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,”kata Kasman
meyakinkan Ki Bagus.
Kasman juga menjelaskan
kepada Ki Bagus soal janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan
ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat undang-undang yang
sempurna.
Di sanalah nanti kelompok
Islam bisa kembali mengajukan gagasan-gagasan Islam. Soekarno ketika itu
mengatakan, bahwa perubahan ini adalah Undang-undang Dasar sementara,
Undang-undang Dasar kilat. “Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana
yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang yang lebih lengkap dan
sempurna,” kata Soekarno.
Para tokoh Islam saat itu
menganggap ucapan Soekarno sebagai “janji” yang harus ditagih. Apalagi, ucapan
Soekarno itulah setidaknya yang membuat Ki Bagus merasa masih ada harapan untuk
memasukan ajaran-ajaran Islam dalam Undang-undang yang lengkap dan tetap
nantinya.”Hanya dengan kepastian dan jaminan 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945
itu akan dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis pembuat
Undang-undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke dalam
undang-undang dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo itu untuk
menanti,” kenang Kasman dalam memoirnya.
Selain itu soal jaminan di
atas, tokoh-tokoh Islam juga dihadapkan pada suatu situasi terjepit dan sulit,
dimana kalangan sekular selalu mengatakan bahwa kemerdekaan yang sudah
diproklamasikan membutuhkan persatuan yang kokoh. Inilah yang disebut Kasman
dalam memoirnya bahwa kalangan sekular pintar memanfaatkan momen psikologis,
dimana bangsa ini butuh persatuan, sehingga segala yang berpotensi memicu
perpecahan harus diminimalisir.
Dan yang perlu dicatat,
tokoh-tokoh Islam yang dari awal menginginkan negeri ini merdeka dan bersatu,
saat itu begitu legowo untuk tidak memaksakan kehendaknya mempertahankan tujuh
kata tersebut, meskipun begitu pahit rasanya hingga saat ini. Sementara
kalangan sekular-Kristen yang minoritas selalu membuat move politik yang
memaksakan kehendak mereka.
Alkhulasah, dalam hitungan
kurang dari 15 menit seperti diceritakan oleh Hatta, tujuh kata dalam Piagam
Jakarta dihapus. Setelah itu Hatta masuk ke dalam ruang sidang Panitia
Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan membacakan empat perubahan dari
hasil lobi tersebut. Berikut hasil perubahan kemudian disepakati sebagai
preambule dan batang tubuh UUD1945 yang saat ini biasa disebut dengan UUD 45:
*
Pertama, kata “Mukaddimah” yang berasal dari bahasa Arab, muqaddimah, diganti
dengan kata “Pembukaan”.
*
Kedua, anak kalimat Piagam Jakarta yang menjadi pembukaan UUD, diganti dengan,”
negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
*
Ketiga, kalimat yang menyebutkan presiden ialah orang Indonesia asli dan
beragama Islam seperti tertulis dalam pasal 6 ayat 1, diganti dengan mencoret kata-kata
“dan beragama Islam”.
* Keempat, terkait
perubuahan poin kedua, maka pasal 29 ayat 1 berbunyi “Negara berdasarkan atas
Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai ganti dari, “Negara berdasarkan atas Ketuhan,
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Inilah musibah terbesar bagi
umat Islam di negeri ini. Ketua Umum Masyumi, Prawoto Mangkusasmito dengan
sedih dan perih mengatakan, ”Piagam Jakarta yang diperdapat dengan susah payah,
dengan memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka bangsa
ini, kemudian di dalam rapat ”Panitia Persiapan Kemerdekan” pada tanggal 18
Agustus 1945 dalam beberapa menit saja dapat diubah? Apa, apa, apa sebabnya?
Kekuatan apakah yang mendorong dari belakang hingga perubahan itu terjadi?”
Selain Prawoto, tokoh
Masyumi lainnya seperti KH M. Isa Anshari dan Mohammad Natsir juga merasakan
keperihan serupa. Isa Anshari menyebut peristiwa itu sebagai kejadian yang
mencolok mata, yang dirasakan seperti ”permainan sulap” dan pat-gulipat politik
yang diliputi kabut rahasia.
Sementara Natsir mengatakan,
penghapusan tujuh kata tersebut sebagai ultimatum kelompok Kristen, yang tidak
saja ditujukan kepada umat Islam, tetapi juga kepada bangsa Indonesia yang baru
24 jam diproklamirkan.
Natsir menegaskan, peristiwa
tanggal 18 Agustus 1945 adalah peristiwa sejarah yang tak bisa dilupakan.
”Menyambut proklamasi tanggal 17 Agustus kita bertahmid. Menyambut hari
besoknya, tanggal 18 Agustus, kita istighfar. Insya Allah umat Islam tidak akan
lupa,” kata Natsir.
Siapa orang yang paling
bertanggungjawab dalam penghapusan tujuh kata tersebut? R.M.A.B Kusuma dalam
buku Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan
Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan (Jakarta: Badan Penerbit PH-UI,
2004) mengatakan, ”Bung Hatta adalah orang yang paling bertanggungjawab
terhapuskannya ”tujuh kata” dari Piagam Jakarta. Beliau konsisten mengikuti
ajaran yang dianutnya. Beliau menghapus ”tujuh kata” tanpa berunding dengan
tokoh-tokoh Islam yang menyusun ”perjanjian luhur” Piagam Jakarta, yakni: K.H
Wachid Hasjim, K.H Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.
Beliau hanya berunding
dengan Ki Bagus Hadikusumo yang bukan penyusun Piagam Jakarta dengan janji
bahwa hal itu akan dibahas lagi di sidang MPR yang akan dibentuk. Pertimbangan
beliau hanya didasarkan pada pendapat orang Jepang yang mengaku utusan dari
Indonesia Timur. Beliau tidak menyatakan berunding dengan utusan Indonesia
Timur yang resmi, yakni D.G Ratulangie, M.r J. Latuharhary, Andi Pangeran Petta
Rani, Andi Sultan Daeng Raja, dan Mr Ketut Pudja.”
Dalam buku tersebut Kusuma
juga mengatakan, ikhtiar penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang
dilakukan Hatta, yang mengaku mendapat desakan dari kelompok Kristen di Indonesia
Timur, tak lain makin memperlihatkan sikap dan keyakinan politik Hatta yang
sekular, yang berusaha memisahkan ”urusan agama” dan ”urusan negara”. Hatta,
kata Kusuma, bahkan tidak pernah mengucapkan kata-kata yang identik dengan
Islam, seperti Allah subhana wa Ta’ala, Alhamdulillah, dan sebagainya. Kusuma
juga menuliskan keterangan yang berbeda dengan buku-buku sejarah dan pernyataan
Kaman Singodimejo yang menyebut KH A Wahid Hasyim ikut dalam lobi untuk
menghapuskan tujuh kata tersebut. Kusuma mengatakan, saat lobi terjadi KH A
Wahid Hasyim sedang berpergian ke Surabaya. ”Keterangan Bung Hatta bahwa pada
tanggal 18 Agustus 1945 beliau telah berunding dengan KH A Wahid Hasyim tidak
sesuai dengan kenyataan,” tegas Kusuma.
Selain itu, tokoh Masyumi
Prawoto Mangkusasmito juga menyangsikan kehadiran KH A Wahid Hasyim dalam lobi
tersebut. Sikap Hatta yang mengambil
ikhtiar sendiri melakukan lobi-lobi politik dengan tokoh-tokoh yang bukan
penandantangan Piagam Jakarta juga dipertanyakan dengan keras oleh KH Isa
Anshari,
”Benarkah langkah Hatta
tersebut dilakukan atas keberatan kalangan Kristen dari Indonesia bagian Timur
sebagaimana disampaikan melalui opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang)? Tapi
kenapa Hatta sendiri tidak melibatkan A.A Maramis yang Kristen dan menjadi
salah satu penandatangan Piagam Jakarta, juga tidak mengajak serta minta
persetujuan K.H Wachid Hasyim dan H. Agus Salim yang juga penandatangan Piagam
Jakarta yang mewakili kalangan Islam? Kenapa Hatta malah melobi Ki Bagus
Hadikusumo yang tidak menjadi penandatangan Piagam Jakarta?”
Untuk menepis segala
tudingan itu, belakangan Hatta menceritakan kronologis peristiwa penghapusan
tujuh kata tersebut dalam buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia:
”Pada sore hari (Tanggal 17
Agustus 1945) aku menerima telepon dari Tuan Nishijima, pembantu Admiral Maeda
menanyakan dapatkah aku menerima seorang Opsir Kaigun (Angkatan Laut) karena ia
mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nishijima
sendiri akan menjadi juru bahasanya. Aku persilahkan mereka datang. Opsir itu,
yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan
sungguh, bahwa wakil Protestan dan Katholik, yang dikuasai oleh Angkatan Laut
Jepang berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat pembukaan Undang-undang
Dasar yang berbunyi: Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.
Mereka mengakui bahwa bagian
kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengikat rakyat yang beragama Islam.
Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu dalam suatu dasar yang menjadi pokok
Undang-Undang Dasar, berarti mengadakan diskriminasi terhadap mereka golongan
minoritas. Jika ”diskriminasi” itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri
di luar Republik Indonesia. Opsir tadi mengatakan, bahwa itu adalah pendirian
dan perasaan pemimpin-pemimpin Protestan dan Katolik dalam daerah pendudukan
Kaigun.
Mungkin waktu itu Mr AA
Maramis cuma memikirkan, bahwa bagian kalimat itu hanya untuk Rakyat Islam yang
90% jumlahnya dan tidak mengikat rakyat Indonesia yang beragama lain. Ia tidak
merasakan bahwa penetapan itu adalah suatu diskriminasi. Karena Opsir Angkatan
laut Jepang itu sungguh-sungguh menyukai Indonesia merdeka yang bersatu sambil
mengingatkan pula kepada semoboyan yang selama ini didengung-dengungkan
”Bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh”, perkataannya itu berpengaruh juga
atas pandanganku. Tergambar di mukaku perjuanganku yang lebih dari 25 tahun
lamanya, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai Indonesia merdeka,
bersatu dan tidak berbagi-bagi. Apakah Indonesia merdeka yang baru saja
dibentuk akan pecah kembali dan mungkin terjajah lagi karena suatu hal yang
sebenarnya dapat diatasi? Kalau Indonesia pecah, pasti daerah di luar Jawa dan
Sumatra akan dikuasai kembali oleh Belanda dengan menjalankan politik divide et
impera, politik memecah dan menguasa. Setelah aku terdiam sebentar, kukatakan
kepadanya, bahwa esok hari dalam sidang panitia persiapan kemerdekaan akan ku
kemukakan masalah yang sangat penting itu. Aku minta ia menyabarkan sementara
pemimpin Kristen yang berhati panas dan berkeras kepala itu, supaya mereka
jangan terpengaruh oleh propaganda Belanda…”
Benarkah keterangan Hatta
yang mengatakan ada opsir Jepang, yang datang membawa pesan penting dari
kelompok Kristen di Indonesia Timur? Kenapa pesan dan peristiwa penting dalam
pertemuan Hatta dengan opsir Jepang itu memunculkan pengakuan Hatta yang sangat
naif bahwa dirinya lupa tentang nama opsir tersebut? Sebuah logika sederhana
akan mengatakan, jika ada seorang yang membawa pesan penting, apalagi ini
menyangkut masalah bangsa dan akan mempengaruhi sejarah bangsa ke depan, tentu
Anda akan bertanya nama dari pembawa pesan tersebut. Sebagai sebuah bukti
adanya pertemuan itu, seharusnya Hatta mencatat nama Opsir Jepang itu!
Karena Hatta mengaku lupa nama
Opsir itu, padahal peristiwa sejarah yang sangat penting membutuhkan detil
peristiwa yang valid, maka tak heran jika ada yang meragukan keterangan Hatta
soal opsir Jepang itu?
Menurut Ridwan Saidi,
seperti dikutip dari Dr Sujono Martosewojo dkk, dalam buku ”Mahasiswa ’45
Prapatan 10”, anggapan bahwa ada opsir Jepang yang datang ke rumah Hatta pada
petang hari tanggal 18 Agustus 1945 kemungkinan karena kesalahpahaman saja.
Iman Slamet, mahasiswa kedokteran yang menemani Piet Mamahit menemui Hatta
memang berpostur tinggi, rambut pendek, mata sipit, dan suka berpakaian
putih-putih. Iman Slamet inilah yang kemungkinan dikira sebagai opsir Jepang
oleh Hatta.
Seperti ditulis di atas,
bahwa Dr Sam Ratulangi mendatangi kelompok mahasiswa Prapatan pada pukul 12.00,
tanggal 17 Agustus 1945, dan meminta mereka untuk terlibat dalam usaha
penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kemudian mahasiswa itu menghubungi
Hatta, dan Hatta mengatur pertemuan pada sore harinya, maka keterangan Hatta
soal adanya pertemuan dengan opsir Jepang, yang ia lupa namanya, diragukan.
Karena itu dalam sebuah
diskusi tentang Piagam Jakarta, Ridwan Saidi mengatakan, ”dengan segala hormat
saya pada Bung Hatta, dia seorang yang bersahaja, tapi dalam kasus Piagam
Jakarta saya harus mengatakan bahwa dia berdusta.”
Penelitian Ridwan Saidi
dikuatkan dengan sebuah buku yang diterbitkan di Cornell University AS, yang
mengatakan bahwa dalang dibalik sosok misterius opsir Jepang itu adalah Dr Sam
Ratulangi, yang disebut dalam buku itu sebagai an astute Christian politician
from Manado, North Sulawesi (Seorang politisi Kristen yang licik dari Sulawesi
Utara).
Umat Islam dan bangsa ini sampai saat ini masih menyimpan pertanyaan
besar, kenapa Hatta memilih berunding dengan tokoh-tokoh Islam yang bukan
penandatangan Piagam Jakarta? Kenapa pula Hatta tidak berunding dengan tokoh
Kristen penandantangan Piagam Jakarta, dan lebih memilih mendengarkan ”pesan”
yang menurutnya disampaikan opsir Jepang tersebut? Selubung kabut sejarah ini
harus diungkap, demi sebuah kejujuran sejarah, demi kebenaran sesungguhnya!
No comments:
Post a Comment