Ust. Abu Bakar Ba’asyir lahir
di desa Pekunden, kecamatan Mojoagung, kabupaten Jombang Jawa Timur, sebuah
desa di pingiran kabupaten jombang Jawa Timur. Kelahirannya di Jombang disambut
sayup-sayup senandung takbir yang terdengar di sudut-sudut desa yang
didengungkan anak-anak melalui surau-surau tua di sekitar rumahnya. Senandung
takbir perayaan peringatan keteladanan pengorbanan Bapak Tauhid, Ibrahim AS
yang hendak menyembelih putranya.
Ia terlahir pada tanggal 12
Dzulhijjah 1359, dua hari setelah Hari Raya Idul Adha. Gemuruh takbir yang
menggetarkan hati beriringan dengan gemuruh bangsa Indonesia yang sedang
memperjuangkan kemerdekaannya untuk keluar dari penjajahan tentara kafir
Belanda dalam suasana serba kekurangan dan keprihatinan. Tanggal kelahirannya
bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 1938. Raut muka syukur dan linangan air
mata syukur kedua orang tuanya mengiringi kelahiran sosok Abu Bakar Ba’syir
yang diharapkan meneladani pengorbanan Ibrahim dan semangat patriotisme seorang
pejuang dalam mempertahankan prinsip kebenaran dan keislaman. Ia terlahir
bersama tiga saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan.
Orang tua Abu Bakar Ba’asyir
bukanlah seorang yang kaya raya selayaknya kebanyakan warga masyarakat
keturunan Arab lainnya. Namun, kecintaan terhadap Islam dan ketundukan orang
tuanya pada Allahlah yang menjadikan Abu bakar kecil ini mampu bertahan. Darah keturunan
Hadramaut Yaman mengalir deras dalam dirinya. Ayahnya bernama Abud bin Ahmad
dari keluarga Bamu'alim Ba'asyir yang membuat Abu Bakar
menyandang marga Ba’asyir di belakang nama aslinya. Kenangan indah bersama sang
ayah tak banyak ia rasakan dan ia nikmati. Saat usia tujuh tahun, ayahnya harus
meninggalkan tawa riang Abu Bakar kecil menuju keharibaan Ilahi. Ayahnya
meninggal dunia. Ia menjadi yatim di tengah kehidupan bangsa Indonesia yang
masih kacau meskipun telah memperoleh kemerdekaannya.
Di tengah carut
marutnya kehidupan bangsa Indonesia, ibunya yang masih buta huruf latin aksara
Indonesia mengasuh sendiri Abu Bakar kecil. Ibunya bernama Halimah yang lahir
di Indonesia walaupun masih juga berketurunan Yaman dari keluarga Bazargan. Demi
melanjutkan amanat agama dan suaminya, sang Bunda terus menanamkan nilai-nilai
keislaman demi kebahagiaan sang putra kelak. Ibundanya yang pandai membaca al
Quran dan seorang muslimah taat beragama selalu mendampingi pendidikan agama
sang anak di rumah meskipun Abu Bakar kecil juga tak pernah absen menghadiri
pendidikan agama di mushala kampung tempat tinggalnya.
Tak ingin membiarkan anaknya
tertinggal dalam kebodohan, orang tuanya memasukkan Abu Bakar kecil untuk
menempuh pendidikan pertamanya di sebuah Madrasah Ibtida’iyah (Sekolah Islam
setingkat SD). Namun, dikarenakan situasi konflik revolusi bangsa Indonesia
melawan Belanda pada saat itu, sekolahnya harus tertunda dan mengalami jeda.
Baru kemudian setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, ia dipindahkan ke Sekolah
Rakyat (Sekolah umum sederajat SD saat ini). Selama menjadi siswa di madrasah,
Abu Bakar kecil sempat ikut kegiatan gerakan Kepanduan Islam Indonesia (pada
masa orde lama yang kemudian difusikan dalam Gerakan Pramuka). Untuk menutup
kekurangan sang anak dalam ilmu agama, setiap malamnya, Abu Bakar kecil belajar
mengaji dan ilmu agama di musholla desa tempat tinggalnya. Selain kegiatannya
di musholla, sang bunda masih terus mendampingi langsung pendidikan Abu Bakar
kecil di rumah. Setelah lulus dari Sekolah Rakyat (SR), pendidikannya berlanjut
ke jenjang sekolah menengah. Ia bersekolah di sebuah SMP Negeri di kota Jombang
yang berjarak 13 km dari rumah tempat tinggalnya. Setiap hari, perjalanan
sejauh minimal 26 Km ia tempuh dengan sepeda. Semasa SMP ini, Abu Bakar aktif
mengikuti kegiatan berorganisasi dalam Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam Himpunan Mahasiswa Islam (LDMI HMI) Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII)
ranting Mojoagung disamping masih menjadi anggota Gerakan Pramuka.
Menginjak masa remaja
setelah merampungkan sekolah di SMP, ia melanjutkan pendidikannya ke jenjang
SMA. Saat itu, ia masuk SMA Negeri Surabaya. Kondisi perekonomian Indonesia
yang sedang mengalami keterpurukan merata di seluruh lapisan masyarakat membuat
pendidikannya di SMA hanya mampu bertahan selama 1 tahun. Kegiatan
berorganisasinya pun juga terpaksa harus terhenti. Selanjutnya, ia memutuskan
hijrah ke Solo untuk membantu kakaknya yang sedang mengembangkan sebuah
perusahaan sarung tenun di Kota Solo.
Hingga pada tahun 1959 M,
atas dorongan dan bantuan kedua kakaknya, Salim Ba'asyir dan Ahmad Ba'asyir, ia
mendaftar sebagai santri di Pondok Pesantren Darussalam Gontor, sebuah Pondok
Pesantren yang terbilang terbaik dan termaju di Indonesia. Atas berkat rahmat
Allah SWT, ia berhasil menjadi santri di pondok pesantren tersebut. Di sini,
keaktifan berorganisasinya kembali tersalurkan dalam wadah Pelajar Islam
Indonesia (PII) cabang Gontor. Impiannya melanjutkan pendidikan yang sempat
terhenti membuatnya serasa melihat pelita di tengah buta kegelapan malam.
Empat tahun menjadi santri
pondok pesantren Darussalam Gontor, dengan rahmat Allah, ia berhasil lulus dari
kelas Mualimin pada tahun 1963 M. Semangatnya untuk menempuh pendidikan masih
membara di benaknya sehingga (masih atas bantuan kakaknya), ia melanjutkan
studinya di Universitas Al Irsyad jurusan Dakwah di kota Solo selama kurang
lebih tiga tahun. Selama menjadi mahasiswa , ia aktif dalam beberapa organisasi
pemuda. Ia menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Solo. Di HMI,
dia pernah mendapatkan amanah sebagai ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam
(LDMI) -sebuah lembaga semi otonom HMI- cabang Solo di masa Ir. Imaduddin
sebagai Ketua Umumnya. Di organisasi Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Abu Bakar
Ba’syir pernah mendapatkan amanat dakwah sebagai Ketua pada tahun 1961. Selain
itu, di dalam organisasi Pemuda Al Irsyad, ia menjadi sekreatis cabang Solo.
Menginjak usia dewasa,
panggilan hati untuk menikah mengarahkannya untuk menyunting seorang muslimah
bernama Aisyah binti Abdurrahman Baraja'. Sejak saat itu, keberadaan sang istri
selalu menyertai perjuangan dakwahnya. Kesetiaan sang istri tak hanya
dibuktikan dengan kata mutiara dan hiasan pujian semata. Namun, keberadaan sang
istri, Aisyah Baraja’, dalam perjuangan dakwah terwujud dalam tindakan nyata
dan fakta. Dari rahim istrinya, keduanya memiliki tiga orang anak yang saat ini
telah menikah dan masih hidup semuanya. Tiga anaknya terdiri atas 1 orang putri
dan 2 orang putra. Mereka adalah Zulfah, Rosyid Ridho dan Abdul Rohim.
Perjalanan dakwahnya kemudian
berlanjut dengan mendirikan radio dakwah yang di namai radio ABC (Al-Irsyad
Broadcasting Center) di gedung Al Irsyad Solo yang hingga kini masih berdiri.
Ikut aktif bersama beliau adalah Ustadz Abdullah Sungkar (rhm), Ustadz Abdullah
Thufail (rhm),dan Ustadz Hasan Basri (rhm). Karena terjadi perselisihan faham
dengan beberapa pengurus Al-Irsyad terkait acara radio tersebut, maka beliau
keluar bersama beberapa pengurus radio ABC dan mendirikan Radio Dakwah Islamiah
Surakarta (Radis) yang padat dengan muatan dakwah yang tegas dan menghindari lagu-lagu
maksiat. Radis didirikan di komplek masjid Al Mukmin lama yang akhirnya ditutup
oleh rezim orba karena dianggap menentang pemerintah. Tak cukup hanya dakwah
lewat frekuensi udara, beliau mendirikan madrasah diniyah (semacam
lembaga non formal yang mengajarkan pendidikan agama Islam yang biasanya
diselenggarakan pada sore hari) di komplek masjid Al Mukmin Gading Wetan (saat
ini menjadi SMU Islam 1 Surakarta, bukan SMU Al-Islam 1 Surakarta). Pada
mulanya, madrasah yang hanya masuk sore hari ini memberikan pendidikan Bahasa
Arab dan materi syariat Islam. Selanjutnya, melalui madrasah diniyah inilah,
cikal bakal Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki kemudian berdiri hingga sekarang.
Melihat pekembangan
madrasah yang pesat dan didorong oleh amanah yang diamanatkan oleh KH. Zarkasyi
(Pendiri Pondok Pesantren Darussalam Gontor), Abu Bakar Ba’asyir berinisiatif
mengembangkan madrasah diniyah menjadi pondok pesantren yang
saat itu bertempat di Gading Kidul-Surakarta menempati area yang sempit.
Barulah setelah 2 tahun kemudian, Pondok Pesantren Al Mukmin dipindahkan ke
tanah yang lebih luas di desa Ngruki yang dibeli dari salah seorang tokoh
agama di solo. Desa Ngruki sendiri saat itu masih ”dikuasai” oleh kalangan
komunis yang masih cukup kental. Bersama Ustadz alm. Abdullah Sungkar, Ustadz
Alm. Hasan Basri, Alm. Abdullah Baraja' , Ustadz alm. Yoyok Raswadi, dan ustadz
Abdul Qahar Haji Daeng Matase, ust. Abu Bakar Ba'asyir terus membangun dan
mengembangkan pendidikan di pesantern Al-mukmin. Pendukung utama berdirinya
pondok pesantren tersebut adalah anggota pengajian-pengajian yang diasuh oleh
tokoh-tokoh pendiri, terutama anggota pengajian kuliah zuhur di Masjid Agung
Surakarta. Alhamdulillah, hingga sampai saat ini kegiatan pengajian tersebut
masih berjalan.
Sejak awal, ust. Abu Bakar
Ba’asyir dan teman-temannya mempunyai karakter yang tak enggan menyampaikan
kebenaran dimanapun dan apapun keadaan yang harus di hadapinya walaupun harus
berhadapan dengan penguasa. Hal inilah yang kemudian membuat pemerintah menjadi
gerah. Karena materi yang disampaikan dianggap menentang rezim saat itu,
akhirnya Ust. Abdullah Sungkar, Ust. Hasan Basri, dan ust. Abu Bakar Ba’asyir
sendiri dipenjara selama 4 tahun tanpa alasan yang jelas hingga akhirnya Ust.
Abdullah Sungkar dan ust. Abu Bakar Ba'asyir kembali divonis hukuman 9 tahun
penjara. Tidak terima dengan keputusan hakim, maka beliau berdua mengajukan
banding, hingga diturunkan menjadi 4 tahun sesuai dengan masa tahanan yang
sudah dijalani. Tak puas dengan hasilnya, jaksa agung mengajukan kasasi ke MA.
Dua orang ustadz ini
seringkali disebut oleh sebagian kalangan sebagai dwi tunggal. Jika orang
nasionalis punya Soekarno-Hatta, maka orang-orang pergerakan Islam memiliki
Abdullah Sungkar-Abu Bakar Ba’asyir. Setelah bebas, sembari menunggu hasil
kasasi, ust. Abu Bakar Ba'asyir bersama Ust. Abdullah Sungkar (rhm), tetap
melanjutkan aktivitas pendidikan dan dakwah mereka sepertimana semula. Hal ini
menjadikan rezim orba menekan MA untuk menaikkan masa hukuman menjadi 9 tahun
agar menjadi alasan bagi penangkapan mereka kembali. Ketika panggilan dari
pengadilan Sukoharjo untuk mendengarkan keputusan pengadilan datang, sang
dwitunggal memahami benar maksud dan tujuan licik pemerintah. Maka setelah
berkonsultasi dengan beberapa ulama, mereka berdua memutuskan untuk tidak
menghadiri undangan pengadilan tersebut karena hal tersebut adalah dosa. Hingga
tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali berhijrah atau tetap di rumah hingga
ditangkap oleh polisi. Bagi keduanya, hal demikian adalah lebih mulia di sisi
Allah SWT daripada datang menyerahkan diri kepada thaghut.
Nampaknya pilihan hijrah-lah yang dipilih, karena jalan ini adalah yang paling
baik dari kedua pilihan itu.
Berkat pertolongan Allah
melalui Pak Muhammad Natsir, mantan Ketua Umum Masyumi dan Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia, mereka berdua berhasil berhijrah ke Malaysia dan menetap
di sana. Kemudian, keberadaan mereka disusul oleh keluarga yang kemudian juga
turut menetap di sana selama 15 tahun. Selama masa hijrah, beliau tetap bekerja
dan berdakwah seperti semula.
Tahun 1998, Allah SWT
berkehandak meruntuhkan kekuasaan orde baru yang zalim. Kemudian, ust. Abu
Bakar Ba’asyir memutuskan kembali ke Indonesia bersama Ust. Abdullah Sungkar
pada tahun 1999. Namun tak berselang lama, tepatnya pada tahun 2000 M, Ustadz
Abdullah Sungkar wafat. Kemudian, ust. Abu Bakar Ba'asyir memutuskan kembali ke
ponpes Al Mukmin Ngruki meneruskan pendidikan dan dakwah untuk menegakkan
cita-cita demi tegaknya syariat Islam di Indonesia. Dalam rangka mengembangkan
dakwah, ust. Abu Bakar Ba'asyir mengikuti kongres umat Islam yang digagas oleh
beberpa aktivis dakwah di Yogyakarta, dimana pada kongres tersebut, umat Islam
sepakat membuat sebuah wadah untuk kaum muslimin bersatu demi menegakkan
kalimah Allah di bumi Indonesia, hingga terbentuklah Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI). Hasil kongres memutuskan Ust. Abu Bakar Ba'asyir diangkat
menjadi Amir Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) MMI atau juga di
sebut sebagai Amir MMI.
Tahun 2003, beliau
ditangkap lagi oleh pemerintahan Megawati karena dituduh terlibat kegiatan
terorisme yang membuatnya divonis 1,5 tahun walaupun tanpa bukti. Anehnya vonis
itu di jatuhkan bukan karena keterlibatan dengan terorisme seperti yang selama
ini di tuduhkan kepadanya. Arah tuduhan di persidangan berbelok dari urusan
terorisme kepada tuduhan makar dan pemalsuan KTP, walau saksi-saksi di
persidangan dari kalangan pejabat pemerintah daerah Sukoharjo sendiri
menyatakan bahwa tidak ada kejanggalan apapun pada proses pembuatan KTP ust. Abu
Bakar Ba’asyir. Tahun 2004, setelah keluar dari pintu penjara salemba, beliau
langsung dicegat oleh polisi untuk dijebloskan kembali ke penjara. Lagi-lagi
karena tuduhan yang sama. Dia dianggap terlibat kasus bom hotel Marriot.
Padahal, saat kejadian Bom Mariott berlangsung, beliau sendiri sedang mendekam
di penjara Salemba sejak 1.5 th sebelumnya. Hingga pada saat pemerintahan SBY,
ust. Abu Bakar Ba'asyir tetap harus tinggal di penjara hingga 30 bulan karena
tekanan pihak asing hingga bulan Juni 2006. Baru Kemudian beliau merasakan
kebebasan. Selanjutnya, aktivitas dakwahnya masih beliau lanjutkan dengan
berkeliling ke seluruh Indonesia untuk mensosialisasikan penegakan Syariat
Islam di Indonesia.
Tak hanya kalangan ulama yang
ia datangi, tak kurang dari pemukiman penduduk, perumahan, perkantoran,
majelis-majelis taklim, masjid, mushola, pejabat, dan birokrat serta penjara ia
datangi bersama beberapa aktivis Islam baik dari Majelis Mujahidin Indonesia
maupun yang elemen Islam lainnya. Kesibukannya berdakwah selepas dari penjara
hampir tidak menyisakan waktu di rumah untuk bercengkerama dengan keluarganya,
anak-anak, serta cucunya selayaknya orang-orang tua yang telah menikmati masa
pensiun, karena beliau tahu benar bahwa dunia dakwah tak memiliki masa pensiun.
Sumber : http://www.ansharuttauhid.com/publikasi/artikel/169-mengenal-ust-abu-bakar-baasyir-lebih-dalam.html
No comments:
Post a Comment